Rabu, 19 Oktober 2016

PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Sebagai manusia, kita dituntut untuk selalu belajar. Oleh karenanya, dewasa ini pendidikan menjadi suatu kebutuhan hidup yang wajib dimiliki oleh setiap orang. Selain itu, kita juga tidak dapat terlepas dari kehidupan bermasyarakat. Karena kita tinggal, melakukan segala macam aktivitas termasuk di dalamnya melakukan kegiatan pendidikan pun di tengah masyarakat. Tentunya kedua hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Antara pendidikan dan masyarakat pastinya memiliki hubungan yang erat serta saling berkaitan.
Maka di sini penulis akan memaparkan keterkaitan antara keduanya. Bagaimana pendidikan berperan dalam masyarakat maupun bagaimana peran masyarakat bagi pendidikan. Serta bagaimana keduanya dapat mengalami perkembangan secara beriringan sesuai dengan semakin majunya zaman.

B.    RUMUSAN MASALAH
1.    Apa pengertian pendidikan dan masyarakat?
2.    Bagaimana hubungan pendidikan dan masyarakat?
3.    Bagaimana pendidikan di masyarakat tradisional dan modern?
4.    Bagaimana pendidikan di masyarakat dunia?

C.    TUJUAN PENYUSUNAN
1.    Untuk memenuhi tugas pembuatan makalah pada mata kuliah Antropologi Sosiologi Pendidikan
2.    Menambah wawasan tentang hubungan pendidikan dan masyarakat

D.    MANFAAT PENYUSUNAN
1.    Mengerti pengertian pendidikan dan masyarakat
2.    Memahami hubungan pendidikan dan masyarakat
3.    Memahami pendidikan di masyarakat tradisional dan modern
4.    Memahami pendidikan di masyarakat dunia
BAB 2
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT
Menururt Kamus Besar Bahasa Indonesia,  kata pendidikan berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik. Sedangkan menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat dan bangsa. Secara umum, pendidikan diartikan sebagai aktivitas interaktif yang sadar dan terencana yang dilakukan minimal oleh dua orang, satu pihak berperan sebagai fasilitator dan dinamisator sedang pihak lainnya sebagai subjek yang berupaya mengembangkan diri, prosesnya dicapai melalui penciptaan suasana belajar dan proses pembelajaran, di dalamnya terdapat nilai yang diyakini kebenarannya sebagai dasar aktivitas yang memiliki tujuan baik dalam rangka mengembangkan segenap potensi internal individu. Puncak ketercapaian tujuan dari pendidikan ini adalah kedewasaan, baik fisik, psikologis, sosial, emosional, ekonomi, moral dan spiritual peserta didik.
Sedangkan masyarakat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Secara umum, masyarakat diartikan sebagai sekumpulan orang yang saling tolong-menolong dalam kehidupannya sesuai dengan sistem yang menentukan berbagai hubungan mereka dengan bagian lainnya dalam rangka merealisasi tujuan-tujuan tertentu dan menghubungkan mereka dengan sebagian lainnya dengan beberapa ikatan spiritual maupun materiil.  Masyarakat terdiri atas kelompok manusia yang menempati daerah tertentu, menunjukkan integrasi berdasarkan pengalaman bersama berupa kebudayaan, memiliki sejumlah lembaga yang melayani kepentingan bersama, mempunyai kesadaran akan kesatuan tempat tinggal dan bila perlu dapat bertindak bersama.
Masyarakat pada dasarnya bekerja dengan polanya sendiri, yakni menggunakan berbagai sistem dan keyakinannya untuk memelihara bangunan sosialnya, tradisi-tradisi, kebudayaan serta berusaha mewariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya sebagai suatu upaya pelestarian. Dalam berpindah dari suatu masyarakat kepada masyarakat lain pun, mereka juga menggunakan berbagai sarana yang bermacam-macam, seperti pemberitahuan perpindahan, kekeluargaan, hubungan perdagangan, maupun kepariwisataan. Dan setiap masyarakat pun tidak harus bernaung di dalam taraf hidupnya sendiri, akan tetapi seyogyanya berusaha untuk maju, berkembang, dan meningkatkan setiap anggotanya, mengembangkan maupun mendidik mereka untuk meningkatkan kehidupan masyarakatnya.

B.    HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT
Pada dasarnya setiap sekolah mendidik anak agar menjadi anggota masyarakat yang berguna. Namun, pendidikan di sekolah sering kurang relevan dengan kehidupan masyarakat. Kurikulum kebanyakan berpusat pada mata pelajaran yang tersusun secara logis sistematis yang tidak nyata hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Apa yang dipelajari tampaknya hanya perlu untuk kepentingan sekolah untuk ujian dan bukan untuk membantu anak agar hidup lebih efektif dalam masyarakatnya.
Dalam melaksanakan program sekolah, masyarakat diturutsertakan. Tokoh-tokoh dari setiap aspek kehidupan masyarakat, seperti dari dunia perusahaan, pemerintahan, agama, politik, dan sebagainya diminta bekerja sama dengan sekolah dalam proyek perbaikan masyarakat. Untuk itu diperlukan masyarakat yang merasa turut bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat dan atas pendidikan anak. Sekolah dan masyarakat dalam hal ini bekerja sama dalam suatu aksi sosial.
Banyak kesulitan yang dihadapi bila kita ingin menjalankan program semacam itu. Meminta waktu dan tenaga tokoh-tokoh masyarakat dalam suatu proyek pelajaran sekolah akan menemui rintangan. Demikian pula bila anak ingin mengunjungi berbagai kantor, pabrik, perusahaan, dan sebagainya. Kurikulum sekolah yang sepenuhnya didasarkan atas masalah-masalah masyarakat akan mendapat kecaman dari golongan yang menginginkan kurikulum akademis berdasarkan disiplin ilmu.
Sehingga diperlukan kurikulum yang berorientasi pada anak dan juga masyarakat. Tidak mungkin kurikulum efektif tanpa memperhitungkan anak, dan tidak ada kurikulum yang tidak mempersiapkan anak untuk masyarakat. Setiap kurikulum harus relevan dengan kebutuhan masyarakat karena sekolah didirikan oleh masyarakat untuk mempersiapkan anak untuk masyarakat. Maka dari itu, guru perlu mempelajari dan mengenal masyarakat sekitarnya.
Di sisi lain, dikatakan bahwa keluarga dan sekolah merupakan dua dasar pokok dalam kehidupan kemasyarakatan yang mengasuh anak dengan pendidikan dan pengajaran untuk mengarahkan tingkah laku dan pekerjaan mereka dengan berbagai tujuan yang dikehendakinya. Hal itu juga dimaksudkan untuk membentuk anggota masyarakat yang baik dan berguna. Sebab, mereka akan bekerja untuk mewujudkan tujuan-tujuan masyarakat yang cukup luas, baik masalah ekonomi, politik, kebudayaan, kemasyarakatan, dan tujuan-tujuan lainnya.
Oleh karena itu, sebenarnya kita akan menjumpai bahwa sistem pendidikan yang dicanangkan dalam sekolah itu berkaitan erat dengan berbagai sistem, seperti ekonomi, politik, dan sebagainya dalam rangka membina dan mengembangkan masyarakat yang memiliki sistem yang lengkap dan menjadi tumpuan dari seluruh sistem lainnya maupun tujuan masyarakat itu sendiri. Maka, sebenarnya pola dan bentuk pendidikan yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain itu tak lain karena adanya perbedaan bentuk atau sistem masyarakat yang lengkap maupun karena perbedaan tujuan dan berbagai sarana yang dipakai untuk mewujudkan tujuan tadi. Sebab pendidikan dalam kenyataannya yang semacam ini adalah merupakan pendidikan yang bertujuan membentuk anggota masyarakat yang berguna. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa pendidikan itu sebenarnya merupakan bagian dari bentuk budaya atau kebudayaan umum suatu masyarakat.
Pola dan kualitas pendidikan itu senantiasa akan berkaitan dengan sistem suatu masyarakat. Keberhasilan sosial politik maupun ekonominya juga akan mempengaruhi kulitas dan pola pendidikan secara keseluruhan maupun terhadap skala prioritasnya. Dengan keberhasilan tersebut, suatu masyarakat akan menjadi media pendidikan yang akan mempengaruhi anggotanya, baik dalam hal tingkah laku, kemauan, maupun pola berpikirnya. Masyarakat akan mempergunakan pendidikan itu sebagai sarana untuk mewujudkan berbagai aspirasi anggota masarakat sesuai dengan tujuan, kebutuhan, dan kemampuan yang dimiliki.
Selanjutnya, apabila pendidikan masyarakat itu mementingkan pengaruh seseorang di dalam masyarakat maupun lingkungannya, baik dalam hal ini dari anggota masyarakat sendiri, kelompok-kelompok sosial, lembaga-lembaga, organisasi-organisasi, tingkah laku dan berbagai tujuan lain, maka pendidikan tersebut jelas merupakan alat penentu dan pemberi arah dalam berbagai perubahan yang terjadi, baik dalam hal tingkah laku, kemauan anggota maupun kelompok-kelompok yang terdapat di dalam masyarakat. Sebab, pendidikan yang merupakan suatu proses belajar mengajar yang berkesinambungan dan integral haruslah bertujuan untuk mengarahkan dan mengembangkan berbagai tujuan hidup anggota masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan suatu alat penyelamat dan pemberi arah mengenai perkembangan orang seorang maupun kelompok-kelompok sosial secara berkesinambungan.
Oleh karenanya, maka pendidikan senantiasa berubah dan berkembang sesuai dengan pekembangan yang dituju oleh masyarakat. Selain itu, pendidikan bertanggung jawab mengenai pengenalan anggota masyarakat terhadap berbagai kelemahan dan kekuatan masyarakat, sebab-sebab kelemahan dan berbagai saran pemecahannya dalam rangka menghadapi berbagai tuntutan yang senantiasa berubah dan berkembang serta bertambah banyak dari anggota masyarakat dan atau upaya pengembangannya untuk mewujudkan berbagai tuntutan kehidupan tadi.
Berkaitan dengan hubungan pendidikan dan masyarakat, terdapat beberapa peran pendidikan bagi masyarakat serta sebaliknya, peran masyarakat bagi pendidikan.
1.    Peran Pendidikan bagi Masyarakat
a.    Memberikan Pengetahuan
Sebuah efek langsung pendidikan adalah mendapat pengetahuan. Pendidikan memberikan kita pengetahuan tentang dunia sekitar, mengembangkan perspektif kita dalam memandang kehidupan dan membantu kita membentuk pendapat dan mengembangkan sudut pandang. Informasi yang terus menerus membombardir kita, tidak dapat dikonversi menjadi pengetahuan tanpa katalis yang disebut pendidikan. Pendidikan membuat kita mampu menafsirkan hal-hal yang benar dan menerapkan informasi yang dikumpulkan dalam skenario kehidupan nyata. Pendidikan tidak terbatas pada pelajaran dari buku teks, pendidikan yang sesungguhnya diperoleh dari pelajaran yang diajarkan kehidupan.
b.    Untuk Karir atau Pekerjaan
Pendidikan penting karena melengkapi kita dengan keahlian yang diperlukan dalam membantu kita mewujudkan tujuan karir kita. Keahlian adalah pengetahuan yang mendalam tentang bidang tertentu yang dapat membuka pintu ke peluang karir yang cemerlang. Pendidikan yang baik adalah kriteria kalayakan untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam bidang apapun, pendidikan selalu terbukti bermanfaat. Kita ditimbang di pasar kerja atas pendidikan kita dan seberapa baik kita menerapkannya.
c.    Membangun Karakter
Pendidikan penting karena mengajarkan kita perilaku yang benar dan sopan santun, sehingga membuat kita beradab. Pendidikan adalah dasar dari budaya dan peradaban. Hal ini penting dalam pengembangan nilai-nilai dan kebajikan kita. Pendidikan memupuk kita menjadi individu dewasa, individu yang mampu merencanakan masa depan, dan mengambil keputusan yang tepat dalam hidup. Pendidikan memberikan kita wawasan hidup dan mengajarkan kita untuk belajar pada pengalaman.
d.    Membantu Kemajuan Bangsa
Meskipun tidak terdaftar sebagai salah satu dari tiga kebutuhan dasar manusia, pendidikan adalah sama fungsinya. Untuk kemajuan bangsa, untuk pengayaan masyarakat pada umumnya pendidikan itu penting. Dalam dunia yang kompetitif saat ini, tidak bijaksana apabila mengabaikan pentingnya pendidikan untuk pengembangan masyarakat secara keseluruhan. Sebagian besar negara telah menyadari hal ini dan menyebabkan banyak pengembangan program pendidikan dari pemerintah berupa bantuan kepada sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Motif di balik ini mendorong majunya pendidikan di masyarakat.
e.    Mengarahkan Kehidupan Masyarakat
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang bertujuan untuk mengarahkan dan mengembangkan berbagai tujuan hidup anggota masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu alat penyelamat dan pemberi arah mengenai perkembangan orang seorang maupun kelompok-kelompok sosial secara berkesinambungan.
f.    Membuka Kesempatan Memperbaiki Nasib
Melalui pendidikan, orang dari golongan rendah dapat meningkat ke golongan yang lebih tinggi. Orang tua mengharapkan agar anak-anaknya mempunyai nasib yang lebih baik dan karena itu berusaha untuk menyekolahkan anaknya jika mungkin sampai memperoleh gelar dari suatu perguruan tinggi, walaupun sering dengan pengorbanan yang besar mengenai pembiayaannya. Hal itu dikarenakan gelar akademis sangat membantu untuk menduduki tempat terhormat dalam dunia pekerjaan. Mereka yang telah menduduki tempat yang tinggi memandang pendidikan tinggi sebagai syarat mutlak untuk mempertahankan status sosial.
g.    Menyediakan Tenaga Pembangunan
Bagi negara-negara berkembang, pendidikan dipandang sebagai alat yang paling ampuh untuk menyiapkan tenaga yang terampil dan ahli dalam segala sektor pembangunan. Kekayaan alam hanya mengandung arti bila didukung keahlian. Maka karena itu manusia merupakan sumber utama bagi pembangunan negara.
h.    Membantu Memecahkan Masalah-masalah Sosial
Masalah-masalah sosial diharapkan dapat diatasi dengan mendidik generasi muda untuk mencegah penyakit-penyakit sosial seperti kejahatan, pertumbuhan penduduk yang melewati batas, pengrusakan lingkungan, kecelakaan lalu lintas, narkotika, dan sebagainya.
i.    Mentransmisi Kebudayaan
Demi kelangsungan hidup bangsa dan negara, kepada generasi muda disampaikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa itu. Setiap warga negara diharapkan menghormati pahlawannya, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang dan dengan demikian meresapkan rasa kesatuan dan persatuan bangsa.
j.    Membentuk Manusia yang Sosial
Pendidikan diharapkan membentuk manusia sosial yang dapat bergaul dengan sesama manusia sekalipun berbeda agama, suku, pendirian, dan sebagainya. Ia juga harus dapat menyesuaikan diri dalam situasi sosial yang berbeda-beda.
k.    Mentransformasi Kebudayaan
Pendidikan diharapkan menambah pengetahuan dengan mengadakan penemuan-penemuan baru yang dapat membawa perubahan dalam masyarakat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan yang besar di dunia ini. Sebagian orang beranggapan bahwa pendidikan dapat digunakan untuk merekonstruksi masyarakat bahkan dapat mengontrol perubahan-perubahan ini.

2.    Peran Masyarakat bagi Pendidikan
Peran serta masyarakat dalam pendidikan dijelaskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pada Bab XV.
Pasal 54 (Bagian Kesatu)
(1)    Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
(2)    Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
(3)    Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 55 (Bagian Kedua: Pendidikan Berbasis Masyarakat)
(1)    Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2)    Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(3)    Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)    Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
(5)    Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56 (Bagian Ketiga: Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah)
(1)    Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
(2)    Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/ Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.
(3)    Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
(4)    Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya, bentuk dan sifat peran serta masyarakat juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1992 tentang Peranserta Masyarakat dalam Pendidikan Nasional BAB III Pasal 4, yakni peran serta masyarakat dapat berbentuk:
a.    Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada jalur pendidikan sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah, pada semua jenis pendidikan kecuali pendidikan kedinasan, dan pada semua jenjang pendidikan di jalur pendidikan sekolah.
b.    Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan untuk melaksanakan atau membantu melaksanakan pengajaran, pembimbingan dan/atau pelatihan peserta didik.
c.    Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar dan/atau penelitian dan pengembangan.
d.    Pengadaan dan/atau penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah untuk menunjang pendidikan nasional.
e.    Pengadaan dana dan pemberian bantuan yang dapat berupa wakaf, hibah, sumbangan, pinjaman, beasiswa, dan bentuk lain yang sejenis.
f.    Pengadaan dan pemberian bantuan ruangan, gedung, dan tanah untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.
g.    Pengadaan dan pemberian bantuan buku pelajaran dan peralatan pendidikan untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.
h.    Pemberian kesempatan untuk magang dan/atau latihan kerja.
i.    Pemberian bantuan manajemen bagi penyelenggaraan satuan pendidikan dan pengembangan pendidikan nasional.
j.    Pemberian pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan dan/atau penyelenggaraan pengembangan pendidikan.
k.    Pemberian bantuan dan kerjasama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan.
l.    Keikutsertaan dalam program pendidikan dan/atau penelitian yang diselenggarakan oleh Pemerintah di dalam dan/atau di luar negeri.

C.    PENDIDIKAN DI MASYARAKAT TRADISIONAL DAN MODERN
1.    Pendidikan di Masyarakat Tradisional
Masyarakat tradisional sering diartikan sebagai masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Di dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat tradisional sering melakukan cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyangnya sehingga kehidupan mereka belum terlalu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berasal dari luar lingkungan sosialnya. Ada beberapa masyarakat yang termasuk ke dalam kriteria masyarakat tradisional, yaitu masyarakat pada zaman dahulu, masyarakat pedalaman, dan masyarakat kota yang tidak mempunyai orientasi budaya peradaban masa kini.
Sejarah pendidikan masyarakat tradisional di Indonesia dimulai pada masa kerajaan. Pada umumnya, pendidikan diselenggarakan untuk mengajar anak-anak keluarga bangsawan, agar mereka siap meneruskan tugas dan tanggung jawab sebagai penerus tahta kerajaan. Pendidikan hanya bersifat terbatas dan elitis, itu berarti pendidikan hanya diperuntukkan bagi kalangan kerajaan serta bangsawan. Sedangkan, pada zaman kolonial Belanda, banyak hal yang menjadi penyebab ketertinggalan bidang pendidikan. Bangsa ini hanya dimanfaatkan sumber daya alamnya yang melimpah, sedangkan dalam sumber daya manusianya dibodohkan dengan berbagai cara, sehingga bangsa ini tidak mengalami masa perkembangan yang menakjubkan pada bidang pengetahuan, pendidikan maupun teknologi. Pendidikan hanya terbatas untuk orang-orang yang memiliki golongan ekonomi atas, terutama pegawai pemerintahan Belanda, kaum bangsawan, dan diutamakan dari kaum laki-laki. Namun pada zaman Raden Ajeng Kartini, ada dobrakan adat tradisi kuno. R.A. Kartini berkeinginan bahwa pendidikan harus diberikan kepada setiap orang tanpa memandang jenis kelamin, suku bangsa, agama, maupun status sosial ekonomi.
Di Indonesia, masyarakat pada zaman dahulu atau masyarakat yang tinggal di daerah terpencil pada saat ini juga sering disebut masyarakat tradisional karena pada zaman itu mereka masih memegang teguh adat istiadat leluhur. Selain itu, masyarakat tradisional biasanya berada di pedalaman sehingga kurang mengalami perubahan atau pengaruh dari kehidupan kota. Pengetahuan yang mereka miliki kurang terspesialisasi dan sedikit keterampilan sehingga membuat anak-anak memperoleh warisan budaya dengan mengamati dan meniru orang dewasa dalam berbagai kegiatan seperti upacara, berburu, pertanian, dan panen. Kebudayaan masyarakat tradisional merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan alam dan sosial sekitarnya tanpa menerima pengaruh luar. Jadi, kebudayaan masyarakat tradisional tidak mengalami perubahan mendasar. Karena peranan adat-istiadat sangat kuat menguasai kehidupan mereka.
Jika membahas mengenai pendidikan pada masyarakat pedalaman, seharusnya kita tidak perlu khawatir karena pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa, “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendididkan yang bermutu”, serta ayat 3 yang menyatakan bahwa, “Warga negara daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.” Maka, pemerintah wajib memenuhi hak tersebut seperti yang dicantumkan dalam Pasal 11 ayat 1, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negaranya.” Jadi, walaupun di Indonesia masih terdapat masyarakat pedalaman yang sulit untuk dijangkau tetapi pemerintah mempunyai kewajiban untuk tetap memberikan pelayanan pendidikan yang sama seperti masyarakat kota terhadap masyarakat pedalaman tanpa pengecualian.
Selain masyarakat zaman dahulu dan masyarakat pedalaman, masyarakat kota yang tidak mempunyai orientasi budaya peradaban masa kini juga termasuk ke dalam masyarakat tradisional. Dalam hal pendidikan, seluruh masyarakat kota seharusnya sudah mendapatkannya secara merata dan mendapat sarana dan prasarana yang memadai. Namun pada kenyataannya, tidak seluruh masyarakat kota dapat merasakan hal tersebut. Terdapat beberapa sekolah yang menempatkan guru sebagai satu-satunya pelaku pendidikan. Siswa tidaklah terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Dalam hal sumber belajar, buku merupakan sumber belajar yang paling sering digunakan. Jika dibandingkan dengan kemajuan yang terjadi saat ini, lingkungan sekitar, alat elektronik seperti internet bisa juga digunakan sebagai sumber belajar. Dan yang teakhir dan masih menjadi kontroversi saat ini adalah masih berlakunya hukuman fisik sebagai tindakan yang diambil guru untuk membuat anak hormat dan untuk menghukum jika ada kesalahan yang diperbuat siswa.
Terlepas dari berbagai macam masyarakat yang termasuk ke dalam masyarakat tradisional serta ciri pendidikannya, ciri pendidikan tradisional secara umum dapat dilihat sebagai berikut:
a.    Anak-anak biasanya dikirim ke sekolah di dalam geografis tertentu kemudian mereka dimasukkan ke dalam kelas yang kemudian dibedakan berdasarkan umur
b.    Prinsip sekolah yang otoritarian menyebabkan anak harus menyesuaikan diri dengan tolak ukur perilaku yang ada
c.    Guru memikul tanggung jawab pengajaran
d.    Pembelajaran berpegang pada kurikulum yang sudah ditetapkan
e.    Bahan ajar yang paling umum tertera dalam kurikulum adalah buku-buku teks
f.    Di dalam kelas, guru menjadi satu-satunya pelaku pendidikan
g.    Guru berbicara dan murid hanya menyimak tanpa ikut berperan aktif
h.    Tatanan bangku berurut dan masih diberlakukannya hukuman fisik bagi murid yang tidak taat
2.    Pendidikan di Masyarakat Modern
Masyarakat modern adalah masyarakat yang menempatkan mesin dan teknologi pada posisi yang sangat penting dalam kehidupannya sehingga mempengaruhi ritme kehidupan dan norma-norma. Masyarakat modern merupakan masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban dunia masa kini. Masyarakat modern relatif bebas dari kekuasaan adat istiadat lama. Karena mengalami perubahan dalam perkembangan zaman dewasa ini. Berlawanan dengan masyarakat tradisional, perubahan-perubahan itu terjadi sebagai akibat masuknya pengaruh kebudayaan dari luar yang membawa kemajuan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat modern bisa dilihat dari ciri-ciri berikut ini:
a.    Masyarakat modern cenderung bersikap netral bahkan menuju sikap tidak memperhatikan atau tidak peduli dan juga lebih mementingkan diri sendiri.
b.    Masyarakat modern suka mengejar prestasi, serta cenderung berterus terang dalam mengungkapkan segala sesuatu.
c.    Dalam mencapai kemajuan, masyarakat modern berusaha agar mereka mempunyai pendidikan yang cukup tinggi dan berusaha agar mereka selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
d.    Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi seimbang dengan kemajuan di bidang lainnya seperti ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya.
Bagi negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia, umumnya masyarakat modern ini disebut juga masyarakat perkotaan atau masyarakat kota. Pengertian kota secara sosiologi terletak pada sifat dan ciri kehidupannya dan bukan ditentukan oleh menetapnya sejumlah penduduk di suatu wilayah perkotaan. Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa tidak semua warga masyarakat kota dapat disebut masyarakat modern, sebab banyak orang kota yang tidak mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan peradaban dunia masa kini, misalnya gelandangan atau orang yang tidak jelas pekerjaan dan tempat tinggalnya.
Dalam masyarakat modern, pendidikan memegang peranan sangat penting dalam hal meningkatkan kecerdasan dan keterampilan. Pendidikan pada masyarakat modern umumnya diarahkan untuk mempersiapkan generasi yang mampu menghadapi tantangan. Pada zaman ini, teknologi informasi sudah mulai memegang peran penting untuk dikembangkan dan dikuasai. Dengan pengetahuan yang cukup, masyarakat akan mempunyai pandangan yang cukup luas untuk mampu mengantisipasi kehidupan masa mendatang dan melakukan perbaikan kehidupan dengan memperkenalkan norma sosial yang baru, yang dapat menjawab tantangan masa mendatang. Jadi, pengetahuanlah yang menjadi modal utama bagi masyarakat modern untuk tetap bertahan dalam situasi dan kondisi peradaban modern.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka untuk memperoleh pengetahuan, mereka menyediakan fasilitas pendidikan formal mulai dari tingkat yang rendah hingga yang tinggi di samping pendidikan keterampilan khusus lainnya. Kelangsungan pendidikan ini diatur oleh pranata sosial baik pendidikan yang diselenggarakan pemerintah maupun oleh swasta. Karena peranan pendidikan ini sangat vital dalam menentukan kehidupan masa mendatang, maka penyelenggaraannya sangat terpelihara dan mendapat dukungan masyarakat. Warga masyarakat modern umumnya menikmati pendidikan sekolah mulai dari tingkat dasar, menengah, maupun tinggi. Peranan pendidikan keluarga tetap terpelihara dengan baik khususnya dalam membentuk kepribadian seseorang. Sedangkan untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilannya, peranan pendidikan sekolahlah yang lebih berperan.
Pendidikan pada masyarakat modern ini bertolak belakang dengan pendidikan tradisional. Pada pendidikan modern, guru bertindak sebagai fasilitator dan peserta didik mengambil dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik dituntut untuk lebih aktif di kelas. Proses pembelajaran tidak hanya menggunakan buku teks, melainkan memanfaatkan media pembelajaran yang sekarang sudah berkembang pesat. Proses pembelajaran pun tidak terbatas di kelas saja melainkan bisa dilakukan di luar kelas sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, kebanyakan guru dalam mayarakat modern cenderung mengajarkan sesuatu yang jauh dari realita yang ada kepada peserta didik. Anak-anak dalam masyarakat modern cenderung di bawah tekanan yang besar dari orang tua dan gurunya untuk menguasai pelajaran dalam waktu yang telah ditentukan sehingga berpotensi menimbulkan kelainan mental jika hasil yang akan dicapai terlalu berat dibandingkan dengan kemampuan anak.

D.    PENDIDIKAN DI MASYARAKAT DUNIA
1.    Pendidikan di Negara-negara Terbelakang
Pada umumnya negara-negara terbelakang ini belum mampu mencukupi kebutuhan hidup rakyatnya. Perkembangan sosial ekonominya masih tergantung kepada penggunaan tenaga-tenaga asing, khususnya dalam bidang-bidang dasar di beberapa lembaga sosial ekonomi yang cukup penting. Negara-negara tersebut masih merupakan masyarakat tradisional yang kehidupannya masih banyak menghadapi berbagai tantangan maupun kesulitan. Contoh negara yang tergolong terbelakang ini, seperti Negara Somalia dan Kongo.
Pendidikan di negara-negara ini kenyataannya benar-benar masih terbelakang jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih maju. Secara kuantitas, pendidikannya belum bisa dinikmati oleh seluruh anak yang berusia sekolah, bahkan persentase anak-anak yang dapat menikmati pendidikan itu pun masih sangat kecil. Oleh karena itu, maka pendidikan di negara-negara tersebut belum mampu memenuhi berbagai tuntutan maupun kebtuhan masyarakatnya. Negara-negara terbelakang ini juga belum mampu menghadapi perkembangan pesat negara-negara lain yang sebenarnya sangat dibutuhkan.
Negara-negara terbelakang ini, masih selalu berorientasi menempatkan orang-orang asing menduduki jabatan-jabatan penting di berbagai pusat pemerintahannya. Sebenarnya pendidikan menengah itu harus mampu membuat suatu perencanaan yang luas dan baik mengenai masalah pemerataan atau perluasan pendidikan di negara-negara tersebut. Sehingga masalah pendidikan ini akhirnya juga merupakan masalah yang perlu ditangani oleh pemerintah dengan jalan membuat program penyelesaiannya sesuai dengan berbagai tuntutan negara, baik yang berkaitan dengan masalah ekonomi, politik, nasionalisme, maupun kemasyarakatan. Hal ini pun harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh negara, berdasarkan hasil berbagai studi mengenai penyelesaian masalah pendidikan. Sebab dengan menyelesaikan masalah pendidikan tingkat menengah ini, akan mempermudah penyelesaian masalah pendidikan-pendidikan selanjutnya.
Dengan demikian diharapkan anak-anak yang telah tamat sekolah menengah ini dapat menggantikan jabatan yang selama ini diduduki oleh orang-orang asing. Begitu juga, para tamatan universitas dapat menggantikan para pemimpin yang sudah menjabat berpuluh-puluh tahun yang hanya memiliki pengetahuan tingkat menengah saja.
Ada beberapa hasil studi yang cukup penting, yakni studi dari hasil Konggres negara-negara Afrika di Addis Ababa pada tahun 1962, mengenai pengembangan pendidikan di Benua Afrika. Hasil studi tersebut menegaskan bahwa di negara-negara terbelakang itu tidak terdapat keseimbangan dalam masalah pengembangan pendidikan, baik antara perkembangan pendidikan dasar dan pendidikan menengah maupun antara perkembangan pendidikan menengah dengan berbagai tuntutan kemajuan zaman di masa-masa mendatang. Negara-negara terbelakang dalam hal ini, seyogyanya dapat mengambil pelajaran dari berbagai kesalahan yang dilakukan oleh negara-negara lain, baik dari negara-negara berkembang maupun negara-negara semi maju.

2.    Pendidikan di Negara-negara Berkembang
Negara-negara ini sudah banyak terdapat kemajuan dan perkembangan, dalam hal pendapatan-pendapatan nasional maupun anak-anak yang berpendidikan. Akan tetapi tidak jauh berbeda dengan negara terbelakang dalam hal menangani masalah pendidikan senantiasa masih menggantungkan diri kepada tenaga-tenaga ahli dari luar negeri, khususnya dalam bidang-bidang spesialiasasi yang sangat pelik. Sekalipun demikian, tenaga-tenaga ahli asing yang dibutuhkan kadarnya lebih kecil daripada yang diperlukan negara-negara terbelakang. Contoh negara yang tergolong negara berkembang, yakni seperti negara kita, Indonesia dan Brazil.
Sebagian besar negara-negara berkembang ini memang memiliki berbagai perekonomian dan kemampuan industrialisasi yang cukup besar sekalipun sebagian besar penduduknya bekerja dalam bidang pertanian. Terdapat juga ledakan penduduk dan bertambah banyaknya anak-anak yang berusia sekolah. Oleh karena itu, negara-negara tersebut sangat membutuhkan perluasan atau pemerataan pendidikan khususnya pendidikan dasar. Hal itu jelas tidak mungkin terwujud tanpa dengan tambahan yang cukup mengenai income perkapita. Sebab sebagian besar negara tersebut mengikat seluruh rakyatnya, yakni keharusan belajar ilmu pengetahuan umum dalam waktu sedekat mungkin. Sekalipun hal ini sebenarnya juga akan terbentur kepada masalah kualitas pendidikan itu sendiri. Begitu juga dengan dibukanya sebanyak mungkin sekolah-sekolah dasar, tentu akan timbul suatu tuntutan baru dari kalangan masyarakat untuk dibukanya sekolah-sekolah menengah, perguruan-perguruan tinggi maupun akadami-akademi.
Dengan dibukanya banyak sekolah-sekolah dasar ini pun pastinya juga akan menimbulkan masalah baru, yakni berkaitan dengan guru. Sebab, pendidikan dasar membutuhkan sejumlah guru yang tidak sedikit. Apalagi untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan atau pelayanan pendidikan itu, semua guru harus mempunyai keahlian yang sesuai dengan bidangnya. Semua itu masih merupakan suatu kesulitan bagi negara-negara berkembang, baik hal itu berkaitan dengan segi materi atau biaya maupun berbagai potensi manusia, yakni tenaga pengajar yang baik.
Oleh karena itu, sebagai langkah awal negara-negara tersebut harus mengatur penggunaan guru-guru yang dimilikinya, meningkatkan taraf pelaksanaan tugas mengajar mereka, mengembangkan dan mensistimatisir beberapa metode pengajaran, buku-buku dan berbagai prasarana lainnya, sehingga mampu menghasilkan dampak pendidikan yang sebesar mungkin.

3.    Pendidikan di Negara-negara Semi Maju
Kemajuan negara-negara ini berbeda dengan kemajuan negara maju maupun negara terbelakang. Negara-negara semi maju ini hampir mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dengan berbagai kekayaannya yang cukup banyak. Bahkan beberapa negara tersebut ada yang telah mengekspor kekayaan-kekayaannya ke beberapa negara lain. Hal ini tidak termasuk pengiriman para sarjana maupun ahli-ahli yang brilliant, sebab jumlah mereka masih terbilang cukup kecil.
Negara-negara tersebut telah dapat mengatasi beberapa kesulitan yang dihadapinya dan sedang dalam status menuju taraf negara maju. Sebab mereka telah memiliki sejumlah bangunan lembaga pendidikan yang megah dan luas, baik pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi, dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Termasuk ke dalam golongan negara semi maju, antara lain Taiwan, Norwegia, dan Polandia.
Sebagian besar negara-negara semi maju memang telah mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dengan berbagai potensi ekonomisnya. Dan walaupun didapati suatu kekurangan, maka sebenarnya hal itu tidak akan menganggu kemajuan pendidikan. Namun demikian seyogyanya masalah pendidikan ini direncanakan dengan sebaik mungkin dalam rangka mencapai kemajuannya. Begitu pula perlu adanya perencanaan yang matang dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan anggota masyarakat.
Masalah kekurangan tenaga pengajar pada pendidikan tingkat menengah dan pendidikan tinggi, khususnya guru-guru dalam bidang kejuruan juga dirasakan oleh negara-negara semi maju. Selain itu, negara-negara tersebut juga masih sangat membutuhkan beberapa perguruan tinggi, pusat-pusat penelitian ilmiah untuk ilmu pengetahuan kejuruan, ilmu pengetahuan alam, biologi, ilmu pasti, dan pertanian dalam rangka mengikuti pekembangan abad teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan ini. Hal ini juga akan menuntut adanya suatu sistem yang cukup baik untuk meningkatkan bobot penelitian ilmiah tersebut, mempersiapkan tenaga-tenaga peneliti yang baik maupun berusaha mendayagunakan hasil daripada beberapa penelitian tadi.
Kemudian usaha perluasan atau pemerataan pendidikan itu pun juga akan menuntut adanya bangunan-bangunan gedung sekolah dan sejumlah dana yang cukup besar dan akan bertambah terus. Akibatnya muncul masalah baru yang menuntut adanya gerakan industrialisasi, meningkatkan pendapatan negara, menurunkan dana, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menurunkan angka kelahiran, mempersiapkan program-program pendidikan khusus untuk orang tua dan memberi berbagai latihan kepada para pegawai dalam rangka meningkatkan kecukupan hidup anggota masyarakat agar lebih produktif hidupnya.
Maka negara-negara semi maju ini harus secepat mungkin membuat berbagai perencanaan, baik mengenai pemerataan wajib belajar maupun berusaha meningkatkan atau menaikkan usia belajar di sekolah dasar menjadi delapan atau sembilan tahun. Masalah kualitasnya pun juga tidak boleh diabaikan, sekalipun berbarengan dengan upaya mengatasi masalah drop out, menurunkan angka anak-anak yang kehilangan kesempatan belajar, meningkatkan kemampuan para gurunya baik dalam bidang ilmu pengetahuan, keterampilan, maupun taraf hidupnya, memprioritaskan pembangunan gedung-gedung sekolah di desa-desa, di daerah-daerah yang berkembang maupun berusaha menarik para siswa agar senang belajar di sekolah-sekolah tersebut.

4.    Pendidikan di Negara-negara Maju
Negara-negara ini adalah golongan negara yang berindustri maju, telah mencapai berbagai penemuan ilmiah dan teknologi serta memiliki sumber daya manusia yang cukup besar dan beraneka ragam. Adapun pendidikannya dapat dikatakan telah mencapai kesuksesan besar, khususnya sangat banyak pendidikan menengah. Jumlah guru pada pendidikan dasar dan menengahnya lima kali lipat lebih banyak dari negara-negara terbelakang dan sekitar satu setengah dari negara-negara semi maju. Persentase anak-anak yang mendaftar sekolah dasar dari kelompok usia 5-14 tahun sebanyak tiga kali lipat dari negara-negara berkembang.
Negara-negara maju memang mengejar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sangat memperhatikan potensi sistem pendidikannya dan sumber daya manusianya pun cukup sempurna dan sangat lengkap. Tergolong negara yang maju, yakni Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan Belanda.
Negara maju tidak lagi menghadapi masalah kelebihan sarjana, sebab di negara tersebut terdapat lapangan kerja yang cukup banyak dan beraneka ragam yang mampu menyerap mereka semua. Begitu pula persentase perkembangan penduduk lebih kecil daripada negara-negara lain, baik negara berkembang, terbelakang, maupun semi maju.
Negara-negara maju ini memang menggunakan dana yang cukup tinggi untuk bidang pendidikan. Biaya pendidikannya hampir 5% dari keseluruhan pendapatan nasional. Sedangkan di negara berkembang, dana pendidikan itu hanya sekitar 2%, dan di negara semi maju sekitar 3%. Mengenai pemerataan pendidikan menengah di negara ini sudah dipandang sebagai hak bagi semua orang. Oleh karena itu kebutuhan mendesak yang menuntut segera dipenuhi, yaitu pemerataan pendidikan menengah tersebut. Sebab, kebanyakan putra-putri bangsa di negara maju memiliki kemauan besar untuk menyelesaikan studi mereka. Bahkan ada kecenderungan untuk menyelesaikan studinya baik pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Sekalipun demikian, pendidikan tinggi tersebut belum merata di seluruh negara-negara maju.
Di negara-negara maju ini khususnya pendidikan menengah sangat memerlukan adanya penanganan yang lebih baik sehingga mampu mengarahkan atau membina para siswa dengan berbagai ilmu pengetahuan maupun keterampilan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Masalahnya pendidikan tersebut sudah merupakan kebutuhan yang mesti dipenuhi atau hak bagi seluruh anggota masyarakat. Oleh karena itu hendaknya terus ditingkatkan perhatiannya terhadap masalah kuantitas maupun kualitasnya.
Kenyataan masih didapatkan drop out di negara-negara maju ini, berarti masih diperlukan adanya perbaikan sistem pendidikannya, meningkatkan kesadaran akan pentingnya belajar di kalangan masyarakat maupun dengan jalan mempersiapkan berbagai program pelajaran yang lebih baik. Bertambahnya pendidikan menengah, banyak diterimanya para siswa yang telah tamat sekolah menengah di perguruan tinggi maupun minat mereka yang cukup besar untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi tentu mendorong adanya perluasan maupun peningkatan pendidikan tinggi dan merumuskan program penambahan jumlah dosen serta berusaha memperluas berbagai studi dan penelitian-penelitian ilmiah. Dan tentu saja semuanya menuntut adanya penambahan anggaran belanja pendidikan yang lebih besar. Oleh karena itu, lembaga-lembaga swasta pun harus ikut memikul atau menangani masalah ini dengan penuh tanggung jawab dan menyediakan dana yang mencukupi.



BAB 3
PENUTUP

KESIMPULAN:
Pendidikan berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik. Sedangkan masyarakat merupakan sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.
Dalam pendidikan diperlukan kurikulum yang berorientasi pada anak dan juga masyarakat. Tidak mungkin kurikulum efektif tanpa memperhitungkan anak, dan tidak ada kurikulum yang tidak mempersiapkan anak untuk masyarakat. Setiap kurikulum harus relevan dengan kebutuhan masyarakat karena sekolah didirikan oleh masyarakat untuk mempersiapkan anak untuk masyarakat. Maka dari itu, guru perlu mempelajari dan mengenal masyarakat sekitarnya.
Berkaitan dengan hubungan pendidikan dan masyarakat, terdapat beberapa peran pendidikan bagi masyarakat, antara lain memberikan pengetahuan, untuk karir, serta membangun karakter. Begitupun masyarakat, juga memiliki peran yang besar bagi pendidikan, seperti mendirikan dan menyelenggarakan satuan pendidikan pada jalur pendidikan sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah, pada semua jenis pendidikan kecuali pendidikan kedinasan, dan pada semua jenjang pendidikan di jalur pendidikan sekolah.
Masyarakat tradisional sering diartikan sebagai masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Ada beberapa masyarakat yang termasuk ke dalam kriteria masyarakat tradisional, yaitu masyarakat pada zaman dahulu, masyarakat pedalaman, dan masyarakat kota yang tidak mempunyai orientasi budaya peradaban masa kini. Ciri pendidikan tradisional secara umum antara lain terlihat dari anak-anak biasanya dikirim ke sekolah di dalam geografis tertentu kemudian mereka dimasukkan ke dalam kelas yang kemudian dibedakan berdasarkan umur, prinsip sekolah yang otoritarian menyebabkan anak harus menyesuaikan diri dengan tolak ukur perilaku yang ada, serta guru memikul tanggung jawab pengajaran.
Sedangkan masyarakat modern adalah masyarakat yang menempatkan mesin dan teknologi pada posisi yang sangat penting dalam kehidupannya sehingga mempengaruhi ritme kehidupan dan norma-norma. Masyarakat modern merupakan masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban dunia masa kini. Dalam masyarakat modern, pendidikan memegang peranan sangat penting dalam hal meningkatkan kecerdasan dan keterampilan. Pendidikan pada masyarakat modern umumnya diarahkan untuk mempersiapkan generasi yang mampu menghadapi tantangan.
Dalam masyarakat dunia, kemajuan pendidikan dipengaruhi oleh kemajuan negara tersebut. Terdapat 4 kelompok negara, yakni negara terbelakang, negara berkembang, negara semi maju, dan negara maju. Kualitas maupun kuantitas pendidikan suatu negara tinggi ketika negara tersebut termasuk ke dalam golongan negara maju, begitupun sebaliknya. Atau dengan kata lain, semakin maju suatu negara semakin maju pula pendidikannya dan semakin terbelakang suatu negara maka semakin terbelakang pula pendidikannya.













DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Nazili Shaleh. Pendidikan dan Masyarakat. 1989. Yogyakarta: CV Bina Usaha
Karsidi, Ravik. Sosiologi Pendidikan. 2008. Surakarta: UNS Press
Nasution. Sosiologi Pendidikan. 1995. Jakarta: Bumi Aksara
Vaizey, John. Pendidikan di Dunia Modern. 1978. Jakarta: PT Gunung Agung
https://www.academia.edu/9917408/PENTINGNYA_PENDIDIKAN_BAGI_MANUSIA diakses pada hari Kamis, 22 September 2016 pukul 20.55 WIB
http://www.slideshare.net/srijadi/uu-no-20-2003-sistem-pendidikan-nasional diakses pada haris Senin, 26 September 2016 pukul 09.25 WIB
www.bphn.go.id/data/documents/92pp039.doc diakses pada hari Senin, 26 September 2016 pukul 09.35 WIB
https://www.academia.edu/6924101/pendidikan_dalam_masyarakat_tradisional_modern_era_global_2014_ diakses pada hari Kamis, 22 September 2016 pukul 21.14 WIB

Utsman bin Affan

1.    Gaya Kepemimpinan Utsman bin Affan
Dalam masa kepemimpinannya, Utsman menjadikan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW sebagai pijakan kemudian apa saja yang telah digariskan dan diwariskan oleh dua khalifah pendahulunya, Abu Bakar dan Umar. Ini pulalah yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Al-Albani, “Ikutilah dua orang sepeninggalanku,” seraya menunjuk Abu Bakar dan Umar.
Metode kepemimpinannya ini juga sudah beliau sampaikan di awal khutbah kepemimpinan, yaitu dengan menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman kemudian petunjuk dua khalifah yang mendahuluinya.
Dari sekian banyak corak kepemimpinan Utsman bin Affan ialah perhatian terhadap keadaan orang-orang yang dipimpinnya. Keadaan di sini meliputi seluruh aspek kehidupan, terutama dalam menjalin hubungan antara diri seorang hamba dengan Rabb-nya dengan selalu memperhatikan batasan-batasan yang telah digariskan-Nya dan tidak melampauinya. Dengan demikian, kehidupan akan berjalan lurus dan kejayaan akan dapat dengan mudah digapai. Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam meriwayatkan, dari ayahnya ia berkata, “Aku mendengar Utsman bin Affan menyampaikan khutbah di hadapan orang-orang. Beliau berkata, ‘Jauhilah khamr oleh kalian. Sebab, khamr merupakan porosnya segala kejelekan…’ Pada akhirnya beliau berkata, ‘Jauhilah khamr. Demi Allah, iman dan candu khamr tidak akan pernah bersatu dalam diri seseorang.”
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Aku menyaksikan Utsman dalam khutbahnya menyuruh agar anjing dapat dibunuh dan merpati dapat disembelih.” Sementara itu Zubaid bin Ash-Shalt mengatakan, “Aku mendengar Utsman berkata di atas mimbar, “Wahai manusia, jauhilah perjudian (dadu). Sebab ada yang mengabariku bahwa ada dadu di rumah beberapa orang di antara kalian. Oleh sebab itu, apabila ada dadu di rumahnya hendaklah ia menghancurkannya”.
Di lain kesempatan Utsman juga berkata di atas mimbar, “Wahai manusia, aku sudah mengajak kalian bicara tentang dadu ini. Namun aku tidak melihat kalian membuangnya. Sungguh aku sudah berkeinginan agar kayu-kayu bakar itu dikumpulkan lantas kukirimkan ke rumah-rumah yang menyimpan dadu sehingga aku membakarnya di hadapan mereka”.
Selain itu, Utsman juga sangat memperhatikan aktivitas jual beli. Salah satunya mengenai harga barang-barang di pasaran. Sebab, harga kerap kali menjadi keluhan masyarakat. Semakin tinggi harga kebutuhan di masyarakat, maka asumsi kemiskinan semakin bertambah akan semakin nampak jelas. Yang miskin bertambah miskin, sementara yang kaya lambat laun berubah miskin. Demikian teori yang dinyatakan sebagian pakar. Oleh sebab itu, tolok ukur harga hendaknya diberikan sepenuhnya pada pemerintah yang sah agar orang-orang di pasar tidak sembarangan menentukan harga dagangannya yang pada gilirannya hanya akan menimbulkan keresahan masyarakat.
Dalam riwayat lain yang dinukil dari Thabaqat Ibnu Sa’d, selain menanyakan harga-harga di pasaran, Utsman juga menanyakan tentang orang-orang yang tengah tergeletak sakit.
Abu Masyja’ah menuturkan, “Kami pernah mengunjungi orang sakit bersama Utsman. Ia pun berkata pada orang yang sakit itu, ‘Ucapkanlah la ilaha illallah.’ Maka orang yang sakit itu mengucapkannya. Utsman berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya dia telah melemparkan seluruh kesalahannya denga kalimat itu sehingga kesalahan-kesalahannya itupun hancur lebur.’ Aku bertanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau katakan? Atau engkau pernah mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?’ Utsman menjawab, ‘Bahkan aku telah mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, hal semacam ini keutamaan untuk orang yang sakit, lalu bagaimana untuk orang yang sehat?’ Beliau menjawab, ‘Untuk orang yang sehat lebih bisa lagi meleburkan kesalahan.”
Jika ditelusuri lebih dekat lagi bagaimana perhatian besar Utsman terhadap rakyat yang dipimpinnya, tentu akan lebih sangat menakjubkan. Sebuah sikap yang patut diteladani setiap orang yang bertindak memimpin suatu negeri. Perhatiannya itu beliau tunjukkan dalam banyak kesempatan. Baik melalui surat-surat yang sampai padanya maupun dengan cara bertanya langsung kepada tamu-tamu Allah di musim haji. Selain itu beliau juga kerap menghubungi kepala-kepala daerah yang ditugaskannya untuk menanyakan keadaan rakyat.  Beliau bahkan dengan sendiri mencari tahu harga-harga barang di pasaran. Musa bin Thalhah bin ‘Ubaidullah menceritakan, “Aku melihat Utsman bin Affan beserta seorang penyeru. Beliau mengajak orang-orang berbicara dan bertanya dan mencari tahu dari mereka tentang harga-harga dan berita-berita.” Dalam kesempatan itulah Utsman mencari tahu tentang kebutuhan apa sajakah yang masih kurang di tengah rakyat yang dipimpinnya. Maka jika ia mengetahui tentang kebutuhan yang diperlukan rakyat, ia akan segera memenuhi kubutahan tersebut. Salah satu yang sering ia lakukan adalah memberikan biaya orang yang tengah melahirkan beserta nafkah untuk bayinya yang diambilnya dari baitul maal.
Ibnu Katsir menceritakan bahwa suatu saat Utsman merasa kehilangan wanita yang biasa membantunya. Beliau diberi tahu bahwa ternyata wanita tersebut tengah melahirkan bayi. Maka beliau pun mengirimkan 50 dirham dan kain dari Sunbulani. Utsman berkata, “Pemberian dan pakaian ini untuk anakmu. Apabila dia sudah berusia setahun, kami akan menambahnya menjadi 100.”
Demikian juga di antara kegiatan Utsman demi berlangsungnya kehidupan bermasyarakat dengan penuh kesejahteraan ialah memberikan arahan pada orang-orang yang diberinya tugas memimpin suatu daerah tertentu. Hal tersebut beliau sampaikan dalam bentuk tulisan (surat) yang dikirimkan kepada setiap orang yang bertanggung jawab atas daerah-daerah yang dipimpinnya. Dalam surat tersebut, Utsman mengingatkan kewajiban mereka terhadap rakyat. Beliau mengatakan bahwa tugas mereka bukanlah mengumpulkan harta zakat, namun lebih kepada kepentingan serta kemaslahatan masyarakat umum. Oleh karena itu beliau menyebutkan langkah-langkah politik yang baik, yaitu dengan memberikan hak masyarakat sepenuhnya dengan tetap mengambil kewajiban yang semestinya mereka tunaikan. Dengan demikian, keadaan masyarakat akan menjadi stabil. Namun jika sebaliknya, perhatian pemimpin hanya berpusat pada penarikan zakat dari masyarakat, berarti sudah tidak ada lagi rasa malu pada diri mereka, amanah menjadi terlantarkan, dan tidak ada lagi sikap menunaikan janji.
Sementara itu, beliau juga mengirim surat pada para panglima perang beserta pasukannya. Isinya pun berupa arahan dan petunjuk bagaimana menjadi panglima yang baik dan apa saja tugas yang semestinya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Beliau menulis, “Amma ba’d… Sesungguhnya kalian adalah penjaga kaum muslimin dan pembela mereka. Umar telah menggariskan tugas untuk kalian yang masih kami ingat, bahkan beliau sampaikan di hadapan para pembesar kita. Oleh karena itu jangan sampai aku dengar dari salah seorang kalian ada yang mengubah dan menggantinya, sehingga Allah akan mengubahnya dengan kalian dan menjadikan orang lain menggantikan posisi kalian. Maka perhatikanlah masa depan kalian, aku pun akan memperhatikan apa saja yang telah Allah wajibkan atas diriku tentang apa saja yang semestinya kuperhatikan dan apa yang seharusnya kulakukan.”
Begitu pula surat edaran yang beliau tulis untuk masyarakat umum. Isinya pun berupa arahan dan anjuran bagaimana sebaiknya menjadi rakyat yang baik. Surat tersebut, antara lain menekankan agar umat selalu berada di dalam koridor agama yang dibangun berdasarkan ittiba’ (mencontoh dan meneladani Rasulullah SAW) dan agar tidak memberatkan diri serta melakukan perkara-perkara yang dibuat-buat (bid’ah).
Begitulah ustman senantiasa mengingatkan sikap hidup sederhana dan menghindarkan diri dari godaan duniawi, akan tetapi dia sendiri tidak berkemampuan memaksakan kebijakan yang digariskannya itu dengan tegas dan keras seperti khalifah Abu Bakar dan Umar.  Selain itu Ustman juga terlalu mengutamakan keluarganya dari Bani Umayyah. Misalnya, ia mengangkat beberapa orang dari Bani Umayyah menjadi gubernur di beberapa wilayah. Sehingga, seringkali sifatnya yang lemah lembut dan dermawan ini dimanfaatkan oleh Bani Umayyah untuk mendapatkan keuntungan.

2.    Keberhasilan-keberhasilan yang Dicapai Pemerintahan Utsman bin Affan
Keberhasilan yang dicapai Utsman bin Affan ketika menduduki jabatan khalifah ke-tiga selama 13 tahun, di antaranya:
a.    Perluasan Wilayah
Setelah Khalifah Umar bin Khattab berpulang ke rahmatullah terdapat daerah-daerah yang membelot terhadap pemerintah Islam. Akan tetapi dengan kekuatannya, pemerintahan Islam berhasil memusnahkan gerakan pemberontakan sekaligus melanjutkan perluasan ke negeri-negeri Persia lainnya, sehingga beberapa kota besar seperti Hisrof, Kabul, Gasna, Balkh, dan Turkistan jatuh menjadi wilayah kekuasaan Islam.
b.    Perluasan Masjid di Tanah Suci
Keberhasilan lain yang dicapai pemerintahan Khalif Utsman ialah pemikiran dan pelaksanaan perluasan Masjid Nabawi di Madinah Al-Munawwarah dan Masjidil Haram di Makkah Al-Karramah.
Dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam serta makin ramainya kelompok-kelompok masyarakat yang memeluk agama Islam, maka pada setiap Musim Haji ramailah rombongan-rombongan jamaah ke Tanah Suci.
Masjid Nabawi di Madinah maupun Masjidil Haram di Makkah hanya berukuran 100 hasta x 100 hasta. Di sekitarnya berdiri rumah-rumah kubus bertingkat kepunyaan penduduk dengan lorong-lorong sempit. Jangankan pada Musim Haji, bahkan bagi kebutuhan kebaktian sehari-hari sudah dirasakan kedua Masjid di Tanah Suci itu sangat sempit. Oleh karena itu, timbulah pemikiran dan pelaksanaan perluasan di kedua Masjid di Tanah Suci tersebut.
c.    Pengkodifikasian Al-Qur’an (Mushhaf Ustmani)
Jasa teramat besar dari Khalif Utsman, yakni bagi kepentingan agama, ialah penaskahan Kitab Suci Al-Qur’an. Dengan begitu terhindarlah untuk abad-abad selanjutnya, kemungkinan pemalsuan suatu kata atau kalimat maupun ayat dari Al-Qur’an tersebut. Dengan jasa Khalif Utsman itu terpenuhilah janji Allah SWT dalam QS. Al-Hijr: 9, yang artinya: “Kami menurunkan Al-Zikra itu, dan sungguh Kami pula yang memeliharanya.”
Alasan Khalif Utsman melakukan pengkodifikasian Al-Qur’an ini, yakni karena penyebaran Islam bertambah luas dan para Qori‘ pun tersebar di berbagai daerah, sehingga perbedaan bacaan pun terjadi yang diakibatkan berbedanya qiro‘at dari qori‘ yang sampai pada mereka. Sebagian bacaan itu tercampur dengan kesalahan tetapi masing-masing berbekal dan mempertahankan bacaannya. Bahkan mereka saling mengkafirkan satu sama lain. Mengetahui hal ini Ustman mengirim surat pada Hafsah yang isinya, “Kirimkanlah pada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur‘an, kami akan menyalinnya dalam bentuk mushhaf.” Selanjutnya ia menyebarkan mushhaf yang yang telah di salinnya ke seluruh daerah dan memerintahkan agar semua bentuk lembaran mushhaf yang lain dibakar. Al-Mushhaf ditulis lima buah, empat buah dikirimkan ke daerah-daerah Islam supaya disalin kembali dan supaya dipedomani, satu buah disimpan di Madinah untuk Khalifah Ustman sendiri dan mushhaf ini disebut mushhaf Al-Imam dan dikenal dengan mushhaf Ustmani.
d.    Otonomi Daerah
Pada zaman khalifah Abu Bakar dan Umar, wilayah dibedakan menjadi dua, yakni wilayah yang pemimpinnya memiliki otonomi penuh dan pemimpinnya disebut amir serta wilayah yang tidak memiliki otonomi penuh yang pemimpinnya disebut wali. 


PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM DI PESANTREN

BAB 2
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN PENDIDIKAN MULTKULTURAL
Secara etimologis, istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan multikultural. Menururt Kamus Besar Bahasa Indonesia,  kata “pendidikan” berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik.  Sementara itu, kata “multikultural” merupakan kata sifat dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata, yakni multi dan culture. Secara umum, kata “multi” berarti banyak, ragam, dan atau aneka. Sedangkan kata “culture” dalam bahasa Inggris memiliki beberapa makna, yaitu kebudayaan, kesopanan dan atau pemeliharaan. Sehingga, multikultural dapat diartikan sebagai keragaman budaya sebagai bentuk dari keragaman latar belakang seseorang. Dengan demikian, pendidikan multikultural didefinisikan sebagai pendidikan yang memerhatikan keragaman budaya peserta didik.
Secara terminologis, definisi pendidikan multikultural dikemukakan oleh beberapa tokoh, antara lain oleh James A. Banks yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan konsep pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik tanpa memandang gender dan kelas sosial, etnik,  ras, agama, dan karakteristik kultural mereka untuk belajar di dalam kelas. Dengan demikian, apapun latar belakang peserta didik yang berupa gender, kelas sosial, etnik, agama, dan ras mereka akan memperoleh hak dan perlakuan yang sama dari sekolah.
Sedangkan menurut Ruriko Okada, pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang membantu peserta didik untuk mengembangkan kemampuan mengenal, menerima, menghargai, dan merayakan keragaman kultural. Dengan kata lain, kemampuan peserta didik dalam mengenal, menerima, dan menghargai keragaman kultural dapat dikembangkan melalui rumusan tujuan, materi, dan metode pembelajaran.
Pendapat berkaitan dengan definisi pendidikan multikultural juga dikemukakan oleh Musa Asy’ari, menurut beliau pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.

B.    KARAKTERISTIK PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Karakteristik adalah sifat-sifat yang perlu diteliti berkenaan dengan kekhasan yang membedakan seseorang dengan orang lainnya. Menurut H.A.R Tilaar, pendidikan multikultural biasanya memiliki ciri tujuanya membentuk "manusia budaya" dan menciptakan "masyarakat berbudaya (berperadaban)".
Sonia Nieto, seorang profesor, penulis, sekaligus guru di bidang multikulturalisme, mendefinisikan karakteristik pendidikan multikultural dalam konteks sosio-politik, ditujukan kepada masyarakat dan proses pendidikan, bahwa elastisitas (kemampuan) dalam pendidikan sebagai bentuk tetap dan statis. Ada tujuh karakteristik yang disampaikan oleh Nieto, yaitu:
1.    Antiracist Education (Pendidikan yang Tidak Membenci Ras Orang Lain)
Pendidikan anti-rasis membuat anti-diskriminasi eksplisit dalam kurikulum dan mengajarkan siswa keterampilan untuk memerangi rasisme dan bentuk lain dari penindasan.
2.    Basic Education (Pendidikan Dasar)
Hak dasar dari semua siswa untuk terlibat dalam inti dan akademisi adalah sebuah kebutuhan mendesak bagi semua siswa.
3.    Important for All Students (Penting bagi Semua Siswa)
Dalam hal ini semua siswa berhak dan membutuhkan pendidikan yang inklusif dan ketat.
4.    Pervasive (Luas)
Pendidikan multikultural menekankan pendekatan yang menembus seluruh pengalaman pendidikan, termasuk iklim sekolah, lingkungan fisik, kurikulum, dan hubungan terhadap sesama.
5.    Education for Sosial Justice (Pendidikan untuk Keadilan Sosial)
Siswa diajak secara langsung untuk melakukan tindakan sosial di lingkungannya.
6.    Education as Process (Pendidikan adalah Suatu Proses)
Siswa dan institusi pendidikan dalam melakukan proses pendidikan melibatkan masyarakat (komite sekolah) dalam meningkatkan prestasi belajar, lingkungan belajar, preferensi belajar siswa dan variabel budaya.
7.    Critical Pedagogy (Pendidikan Kritis)
Dalam berfikir kritis siswa dipengaruhi oleh budaya, bahasa, keluarga, sekolah, artistik, dan pengalaman pendidikan. Siswa dituntut untuk melakukan perubahan pemikiran dari kesadaran pasif, magis menuju kesadaran kritis melalui tindakannya.
   
Selain pendapat dari Sonia Nieto, ada beberapa pihak yang mengemukakan bahwa karakteristik pendidikan multikultural dibagi menjadi tiga, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdullah Aly. Ketiga karakteristik tersebut, antara lain:
1.    Berprinsip pada Demokrasi, Kesetaraan, dan Keadilan
Prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan merupakan prinsip yang mendasari pendidikan mutikultural, baik pada level ide, proses, maupun gerakan. Ketiga prinsip ini menggarisbawahi bahwa semua anak memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.
Karakteristik pendidikan multikultural yang berprinsip kepada demokrasi, kesetaraan, dan keadilan ini agaknya sejalan dengan program UNESCO tentang education for all (EFA), yaitu program pendidikan yang memberikan peluang yang sama kepada semua anak yang memperoleh pendidikan. Bagi UNESCO, EFA merupakan jantung kegiatan utama dari kegiatan pendidikan yang dilakukan selama ini.
Dalam perspektif Islam, pendidikan multikultural yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan, dan keadilan ini ternyata kompatibel dengan doktrin-doktrin Islam dan pengalaman historis umat Islam. Adapun doktrin Islam yang mengandung prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan, antara lain ditemukan dalam QS. Asy-Syura 42: 38, QS. Al-Hadid 57: 25, dan QS. Al-A’raf 7: 181. Menurut Latif B. Ibrahim, ketiga ayat Al-Qur’an tersebut memberikan landasan moral dan etik bahwa setiap orang memiliki hak untuk memperoleh perlakuan yang adil, baik dalam soal ucapan, sikap, maupun perbuatan. Perlakuan adil di sini berkaitan dengan interaksi sosial antara orang muslim dengan non-muslim.

2.    Berorientasi kepada Kemanusiaan, Kebersamaan, dan Kedamaian
Untuk mengembangkan prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, terutama di masyarakat yang heterogen diperlukan orientasi hidup yang universal. Di antara orientasi hidup yang universal adalah kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian. Orientasi hidup yang universal ini merupakan titik orientasi bagi pendidikan multikultural. Dengan demikian, pendidikan multikultural menentang adanya praktik-praktik hidup yang menodai nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian seperti kekerasan, perusuhan, konflik, dan individualistik.
Kemanusiaan (humanity) yang dijadikan titik orientasi oleh pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai nilai yang menempatkan peningkatan pengembangan manusia, keberadaannya, dan martabatnya sebagai pemikiran dan tindakan manusia yang tertinggi. Orientasi kedua pendidikan multikultural adalah kebersamaan (co-operation). Kebersamaan di sini dipahami sebagai sikap seseorang terhadap orang lain, atau sikap seseorang terhadap kelompok dan komunitas. Dan orientasi ketiga pendidikan multikultural, yakni kedamaian (peace) merupakan cita-cita semua orang yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang heterogen. Kedamaian hidup dalam suatu masyarakat dapat diwujudkan dengan cara menghindari terjadinya kekerasan, peperangan, dan tindakan mementingkan diri sendiri, serta dengan cara menghadirkan keadilan. Dalam pengertian ini, pendidikan multikultural bertugas untuk membentuk mindset peserta didik akan pentingnya membangun kehidupan sosial yang harmonis tanpa adanya permusuhan, konflik, kekerasan, dan sikap mementingkan diri sendiri.



3.    Mengembangkan Sikap Mengakui, Menerima, dan Menghargai Keragaman
Untuk mengembangkan orientasi hidup kepada kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian di tengah-tengah masyarakat yang majemuk diperlukan sikap sosial yang positif. Sikap sosial positif ini menurut Donna M. Gollnick dan Lawrence A. Bloom, antara lain mengambil bentuk kesediaan untuk mengakui, menerima, dan menghargai keragaman. Pendidikan multikultural memiliki perhatian kuat terhadap pengembangan sikap-sikap sosial yang positif tersebut. Dengan demikian, pendidikan multikultural menolak sikap-sikap sosial yang cenderung rasial, stereotip, dan berprasangka buruk kepada orang atau kelompok lain yang berbeda suku, ras, bahasa, budaya, dan agama.

C.    KURIKULUM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Pembahasan tentang kurikulum pendidikan multikultural difokuskan pada empat hal, yaitu kompetensi, materi, proses pembelajaran, dan evaluasi. Empat hal tersebut termasuk komponen inti dari kurikulum yang diterapkan oleh pendidikan multikultural. Keempat komponen tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
1.    Kompetensi dalam Pendidikan Multikultural
Kompetensi pendidikan multikultural menurut pendapat Donna M. Gollnick dan Philip C. Chin adalah “peserta didik memiliki perspektif multikultural melalui program dan kegiatan pendidikan”. Perspektif tersebut penting dimiliki oleh peserta didik untuk meningkatkan enam hal, yaitu:
1)    Konsep diri dan pemahaman diri yang baik
2)    Sensitivitas dan memahami pihak lain
3)    Kemampuan untuk merasakan dan memahami keragaman, seperti konflik, interpretasi nasioal, kultural, dan perspektif tentang peristiwa, nilai, dan perilaku
4)    Kemampuan untuk membuat keputusan dan melakukan aksi yang efektif berdasarkan analisis dan sintesis multikultural
5)    Pemikiran terbuka terhadap isu-isu yang berkembang
6)    Pemahaman terhadap proses stereotip rendah, serta bangga terhadap diri sendiri dan menghargai semua orang
Menurut L. H. Ekstrand, kompetensi pendidikan multikultural dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu kompetensi yang berkaitan dengan sikap (attitude), pengetahuan (cognitive), dan pembelajaran sikap (instructional).  Sedangkan menurut James Lynch, pendidikan multikultural harus berorientasi pada dua aspek, yaitu penghargaan terhadap orang lain (respect for others), dan penghargaan terhadap diri sendiri (respect for self). Kedua orientasi kompetensi pendidikan multikultural ini penting untuk dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan multikultural, karena mengingat pengetahuan tentang kelompok etnik dan kultural yang terbatas sering menimbulkan perbedaan yang negatif. Dalam kaitan ini, kurikulum pendidikan multikultural diharapkan membantu peserta didik untuk mengembangkan penghargaan terhadap keberadaan kelompok etnik dan kultural di masyarakat, agar tumbuh perspektif multikultural di kalangan peserta didik.
Dari rumusan-rumusan kompetensi pendidikan multikultural di atas jika dilihat dari tahapan pengembangan kurikulum dapat dikategorikan ke dalam tahap perencanaan kurikulum. Menurut Mark K. Smith, perencanaan kurikulum memuat kompetensi yang akan dicapai, yaitu terjadinya perubahan perilaku peserta didik. Perubahan perilaku peserta didik ini dapat berupa kemampuan, sikap, kebiasaa, penghargaan, dan pengetahuan. Rumusan kompetensi kurikulum tersebut umumnya didokumentasikan dalam bentuk dokumen kurikulum.
2.    Materi dalam Kurikulum Pendidikan Multikultural
Komponen inti kurikulum yang lain adalah materi. Menurut James A. Banks, kurikulum pendidikan multikultural yang berorientasi pada materi dapat dilakukan dengan mengintegrasikan materi multikultural ke dalam kurikulum. Materi yang dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum multikultural adalah isu, tema, topik, dan konsep-konsep yang berkaitan dengan multikulturalisme. Dengan materi yang disebutkan tersebut, diharapka peserta didik akan memperoleh sejumlah pengetahuan tentang multikulturalisme. Selain mendapat pengetahuan tentang multikulturalisme, peserta didik akan memiliki keterampilan-keterampilan dasar dalam membaca, berfikir, dan membuat keputusan, terutama dalam pembelajaran tentang isu-isu sosial yang muncul karena rasisme, dehumanisasi, konflik ras, serta pilihan gaya hidup etnik dan kultural, sebagai akibat dari hubungan antar kelompok yang tidak setara, seperti antara kelompok mayoritas dengan minoritas.
Alternatif tema, topik, isu, dan konsep-konsep yang berkaitan dengan multikulturalisme yang menurut Golnick dan Chinn, perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum multikultural yang cukup mempunyai alasan bila dilihat dari 4 hal.  Pertama, topik, isu, dan konsep-konsep yang berkaitan dengan multikulturalisme dapat diakses oleh semua kelompok kultural peserta didik di sekolah, karena materi terdapat dalam topik, isu, dan konsep-konsep di atas sangat relevan, inklusif, serta merefleksikan pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan oleh semua kelompok kultural peserta didik di sekolah. Kedua, topik, isu, dan konsep-konsep di atas relevan dengan latar belakang kultural dan sosial semua peserta didik, karena materinya merefleksikan kesadaran peserta didik akan keragaman etnik dan kultural.
Tentang materi, pendidik atau sekolah menyiapkan buku-buku teks untuk pembelajaran yang sesuai dengan data yang riil dengan menggunakan perspektif budaya mayoritas dan mengabaikan budaya minoritas.
3.    Proses Pembelajaran dalam Kurikulum Pendidikan Multikultural
Menurut Mark. K. Smith, ada tiga karakteristik bagi kurikulum pendidikan yang berorientasi pada proses. Pertama, menjadikan ruang kelas sebagai interaksi antara pendidik dan peserta didik serta antar peserta didik secara edukatif dan demokatis. Kedua, memerlukan adanya setting dan layout ruang kelas yang dinamis, agar proses komunikasi dan interaksi edukatif antar peserta didik berlangsung dengan mudah. Ketiga, menempatkan peserta didik sebagai subjek dalam pembelajaran, karena menuntut perubahan cara pandang dari kegiatan pengajaran ke kegiatan pembelajaran. Dari segi proses ini, strategi pembelajarannya sangat dipentingkan dalam pendidikan multikultural.
Dengan gaya pengajaran yang demokratis, para pendidik dapat menggunakan beragam strategi pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain pera, observasi, dan penanganan kasus.  Selain itu, dengan menggunakan pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran dapat menempatkan antara pendidik dan peserta didik memiliki status yang setara, karena masing-masing dari mereka juga anggota dari komunitas kelas yang setara. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang absolut. Aturan dalam kelas harus dibagi untuk melindungi pendidik dan peserta didik.
4.    Evaluasi dalam Kurikulum Pendidikan Multikultural
Untuk mengukur keberhasilan pencapaian kompetensi pendidikan multikultural, diperlukan adanya evaluasi. Dalam evaluasi dalam pendidikan multikultural, menggunakan teknik studi kasus, pemecahan masalah, kinerja, pengamatan, dan bermain peran. Instrumen yang digunakan dalam pengamatan adalah check list dan cacatan anekdot. Materi yang dijadikan bahan dalam evaluasi adalah isu, topik, dan tema yang terkait dengan multikulturalisme. Sementara itu, teknik observasi dapat digunakan oleh pendidik untuk mengamati model komunikasi yang digunakan oleh peserta didik dalam interaksi sosial sehari-hari di sekolah.

D.    KURIKULUM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI PESANTREN
Berkaitan dengan kurikulum, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dibebaskan menyusun dan melaksanakan kurikulum  sendiri. Menurut Lukens-Bull, secara umum kurikulum pesantren dapat dibedakan menjadi 4 bentuk, yaitu:
1.    Kurikulum Berbentuk Pendidikan Agama Islam
Dalam dunia pesantren, pengajaran yang dilakukan sebagian besar dengan pengajian atau ngaji. Ada dua tingkatan untuk mengaji ini. Tingkatan yang pertama berkaitan dengan bagaimana belajar membaca teks-teks Arab, terutama adalah Al-Qur’an. Tingkatan ini merupakan tingkatan awal dan harus dikuasai oleh semua santri. Sedangkan tingkatan yang kedua yaitu para santri belajar kitab-kitab klasik yang dibimbing oleh kyai. Kitab kuning termasuk referensi dan merupakan salah satu dari kurikulum pesantren dalam sistem pendidikan pesantren. Ditinjau dari mata pelajaran yang diberikan oleh seorang kyai, maka pelajaran tersebut termasuk bagian dari kurikulum yaitu berkisar pada ilmu pengetahuan agama.
2.    Kurikulum Berbentuk Pengalaman dan Pendidikan Moral
Pesantren menenempatkan banyak kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan moral maupun pengalaman. Kegiatan-kegiatan yang ditekankan dalam pesantren adalah kesalehan dan komitmen para santri terhadap rukun iman. Kegiatan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran para santri untuk mengamalkan nilai-nilai moral yang diajarkan pada saat mengaji. Nilai-nilai moral yang diajarkan dalam pesantren diantaranya adalah kesederhanaan, persaudaraan islam, keikhlasan, dan kemandirian.
3.    Kurikulum Berbentuk Sekolah dan Pendidikan Umum
Dalam sekolah, biasanya kurikulumnya cenderung sekuler. Maksudnya jam untuk pelajaran agama hanya diberikan 2 jam pelajaran untuk setiap minggunya. Berbeda dengan kurikulum madrasah yang memuat 70% pendidikan agama dan 30% untuk pendidikan umum. Jadi, kurikulum madrasah dikatakan memadukan kurikulum yang sekuler dan agamis. Dengan pengadopsian kurikulum sekolah, maka sekarang pesantren banyak yang tidak hanya sekedar belajar dari kitab-kitab saja. Namun, buku islam kontemporer dengan berbahasa Indonesia juga sudah memasuki kalangan pesantren. Adanya buku kontemporer tersebut, diharapkan para santri dapat memahami dan memandang permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Tidak hanya dilihat dari kitab kuning saja, melainkan perspektif dari buku kontemporer.
4.    Kurikulum Berbentuk Keterampilan dan Kursus
Pesantren membentuk kurikulum ini melalui kegiatan ekstrakurikuler. Kurikulum ini diberlakukan di pesantren karena ada dua alasan. Yang pertama yaitu alasan politis. Pesantren memberikan pendidikan keterampilan kursus kepada santrinya berarti merespons seruan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dilihat dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa hubungan pemerintahan dan pesantren berjalan dengan harmonis. Sementara itu, dari segi promosi terjadi peningkatan jumlah calin santri yang memilih pesantren-pesantren modern yang terpadu dengan alasan ada keterampilan di dalamnya.

E.    PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM DI PESANTREN
Berdasarkan pembahasan sebelumnya mengenai pendidikan multikultural, bahwa yang dimaksud pendidikan multikultural sebagai pendidikan yang memperhatikan keragaman budaya peserta didik. Adapun konsep pendidikan multikultural tersebut mampu memberikan kesempatan yang sama kepada peserta didik dengan berbagai keragaman tanpa memandang apapun itu termasuk gender dan kelas sosial, etnik, ras, agama, dan karakteristik kultural mereka untuk belajar di dalam kelas. Semua peserta didik memperoleh hak dan perlakuan yang sama dari sekolah tanpa memandang perbedaan latar belakangnya.
Di dalam pendidikan multikultural seharusnya  juga mampu menanamkan cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural yang dapat dikembangkan melalui rumusan tujuan, materi dan metode dalam pembelajaran.
Jika pada suatu pendidikan itu ditanamkan sikap menghargai nilai-nilai multikultural maka dalam pendidikan tersebut berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan, berorientasi pada kemanusiaan, kebersamaan, kedamaiaan, mengembangkan sikap mengakui, menerima dan menghargai keragaman.
Dalam prespektif Islam pendidikan ini ternyata sesuai dengan apa yang terkandung dalam Al-Quran yaitu QS. QS. Asy-Syura 42: 38, QS. Al-Hadid 57: 25, dan QS. Al-A’raf 7: 181. Dan sudah banyak sekolah/madrasah bahkan pesantren yang dalam proses pembelajarannya terdapat banyak yang menerapkan nilai-nilai multikultural.  Karena sekolah/madrasah bahkan pesantren bukan hanya ingin mencapai tujuan sebagai lembaga pendidikan saja, melainkan untuk menjadikan peserta didik agar dapat memahami makna-makna kehidupan bersosial.
Secara terminologi pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran Agama Islam dan di dukung asrama sebagai tempat tinggal santri.
Pesantren sendiri memiliki tujuan pendidikan yaitu menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunah Rasul), mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.
Selain itu, pesantren juga dituntut untuk berusaha mengembalikan citra serta fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama. Dalam misi ini, terselip harapan agar pesantren menjadi tempat rujukan masyarakat dalam menjawab permasalahan-permasalahan keseharian mereka berdasarkan perspektif dan pandangan agama.
Atas dasar tersebut tidak jarang pesantren/pondok pesantren yang dalam proses pendidikan atau pembelajarannya menggunakan kurikulum pendidikan multikultural yang berdasar kepada pelaksanaan nilai-nilai multikultural sendiri. Sebagai contoh, pondok pesantren Gontor dan pondok pesantren Assalam.
Dalam konteks pondok pesantren pendidikan multikultural sesungguhnya telah menjadi pendidikan dasar yang tidak hanya diajarkan dalam pengajar formal di kelas saja. Tapi juga dilakukan dalam kehidupan sehari-hari santri. Pendidikan formal multikultural ini diwujudkan dalam bentuk pengajaran materi keindonesiaan/kewarganegaraan yang telah dikurikulumkan. Sistem pengajaran di pondok pesantren yang didominasi bahasa asing (Arab dan Inggris) sebagai pengantar, tidak melunturkan semangat pendidikan multikultural peserta didik (santri). Karena materi ini ditempatkan sebagai materi primer dan harus diajarkan dengan medium bahasa Indonesia pula.
Dalam bidang non formal, pesantren dengan kelebihan pendidikan intens 24 jamnya, memiliki banyak waktu untuk menyisipkan aneka pendidikan. Salah satunya pendidikan multikultural. Pola umum yang nyaris diberlakukan di berbagai pesantren adalah sistem pendidikan multikultural yang menyatu dalam aturan dan disiplin pondok. Salah satu contohnya dalam urusan penempatan pemondokan (asrama) santri. Di pesantren, tidak diberlakukan penempatan permanen santri di sebuah asrama. Dalam arti, seluruh santri harus mengalami perpindahan sistematis ke asrama lain, guna menumbuhkan jiwa sosial mereka terhadap keragaman.Hal ini juga ditujukan untuk memberi variasi kehidupan bagi para santri, juga menuntun mereka memperluas pergaulan dan membuka wawasan mereka terhadap aneka tradisi dan budaya santri-santri lainnya.
Jadi intinya adalah dalam pesantren, pendidikan multikultural secara prinsip sudah di terapkan dalam sistem pesantrennya meliputi kurikulum formal pendidikannya dan proses dalam keseharian santri sendiri. Dengan sistem yang ada, pondok pesantren sangat potensial mengembangkan pendidikan berwawasan multikultural, dan layak menjadi contoh sukses implementasi pendidikan multikultural.

F.    CONTOH PRAKTEK PENDIDKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM DI PESANTREN
Perlu kita ketahui bahwa di era perkembagan zaman ini yang dinamakan pesantren telah menjamur di Nusantara. Pesantren dibagi menjadi dua jenis yaitu pesantren tradisional (salafiyah) dan pesantren modern. Pesantren tradisional ini cenderung lebih mengkhususkan diri dalam mengkaji ilmu-ilmu agama, sedangkan pesantren modern berupaya memadukan tradisionalitas dan modernitas pendidikan. Jadi yang dinamakan pesantren modern ini selain bertujuan mengkaji ilmu-ilmu agama juga mengkaji ilmu sosial atau kemasyarakatan. Dalam pesantren modern, pendidikan multikultural menjadi konteks dasar yang tidak hanya diajarkan dalam pembelajaran formal melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari para santri (non-formal).
Contoh praktik pendidikan multikultural dalam pembelajaran yang sifatnya formal, antara lain:
1.    Adanya pembelajaran pendidikan multikultural yang dimasukkan dalam kurikulum pesantren.
Model pertama adalah model implementasi kurikulum pesantren multikultural mengharuskan materi ajar yang digunakan memuat nilai demokratis, solidaritas, kebersamaan, kasih sayang dan memaafkan, serta perdamaian dan keadilan dalam Islam.
Salah satu contohnya adalah materi ajar yang disampaikan kepada peserta didik PPMI Assalam yaitu nilai demokrasi, nilai solidaritas, nilai kebersamaan, nilai kasih sayang, dan memaafkan, serta perdamaian dan toleransi yang dimuat dalam topik Adab al-ukhuwah al-Islamiyah. Akan tetapi dalam topik tersebut tampak jelas bahwa persaudaraan yang dimaksud hanya terbatas pada umat Islam, sedangkan untuk umat non-islam tidak diperlukan persaudaraan melainkan hanya diperlukan persatuan dan kasih sayang.  Selain itu di pondok pesantren yang lain juga mengajarkan bidang studi Dirasah Islamiyah yang didalamya terdapat materi khusus Muqaranat al-Adiyan (Perbandingan agama)  yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, fenomena, dan dinamika keagamaan di dunia  materi ini sangat potensial membangun kesadaran toleransi keragaman keyakinan yang akan para santri temui saat hidup bermasyarakat kelak.
Model kedua, model implementasi kurikulum pesantren multikultural menghendaki strategi pembelajaran yang digunakan untuk mengaktifkan peserta didik berpartisipasi aktif dalam pembelajaran secara demokratis dan menyenangkan.
Ada beberapa alternatif strategi pembelajaran yang bisa digunakan yaitu ceramah interaktif, pembelajran aktif, pembelajaran kolaboratifm diskusi kelompok, bermain peran, dan keteladanan. Strategi-strategi ini sangat relevan untuk menyampaikan materi ajar yang sarat dengan nilai, seperti keragaman, nilai perdamaina, nilai demokrati, dan nilai keadilan.
2.    Pemilihan tempat belajar yang sering mempertimbangkan aspirasi dan usulan dari peserta didik (perwujudan dari sikap demokratis)
Guru yang bijak mengalihkan tempat belajar di luar kelas, yaitu di taman, laboratorium, perpustakaan, masjid atau tempat-tempat lain yang alami sesuai dengan kebutuhan fisik dan psikologis peserta didik sehingga dengan sikap demokratis para guru tersebut berimplikasi pada terciptanya pembelajaran yang menyenangkan. Selain itu guru juga mampu mengamati sikap demokratis peserta didiknya dengan cara memberikan peluang untuk membagi kelompok, mengajukan pertanyaan, mempresentasikan materi kepada sesama peserta didik. Adapun keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran diberikan secara adil tanpa melihat asal-usul daerah mereka.
3.    Penggunaan metode pembelajaran yang beragam
Keberagaman metode pembelajaran seperti metode ceramah, tanya jawab, diskusi, dan praktik jika dapat diterapkan oleh seorang guru dalam proses pembelajaran maka akan terbentuk suasana yang apresiatif dan sikap saling mendukung satu sama lain. Sikap seperti ini menunjukan bahwa mereka memiliki keterampilan sosial yang saling memadai. Hal ini merupakan salah satu ciri pendidikan multikultural yaitu mengembangkan sikap mengakui, menerima, dan menghargai keberagaman budaya.
4.    Nilai multikultural dalam evaluasi pembelajaran adalah nilai keragaman
Artinya evaluasi pembelajaran yang digunakan di Assalaam menggunakan bragam jenis evaluasi, dilihat dari pelaksanaannya ada empat jenis evaluasi pembelajaran yaitu ulangan umum mid semester, ulangan umum semester, ulangan harian, dan ulangan blok. Keberagaman evaluasi pembelajaran ini diharapkan member peluang kepada peserta didik memperoleh hasil yang komprehensif dan kontekstual.
Contoh prektek pendidikan multikultural dalam pembelajaran yang sifatnya non-formal, antara lain:
1.    Sistem pendidikan multikultur yang menyatu dalam aturan dan satu disiplin pondok.
Adanya penempatan pemondokan santri dalam sebuah asrama. Dalam pondok pesantren modern tidak diberlakukan penempatan permanen santri dalam asrama. Hal ini dilaksanakan guna menumbuhkan jiwa sosial mereka terhadap keberagaman. Seperti pelaksanaan yang dilakukan dalam pondok pesantren Al-Amien Prenduan dan pondok modern Gontor yang juga menetapkan regulasi agar setap satu tahun sekali diharuskan ada perpindahan asrama. Pengaturan pemindahan ini telah diatur oleh pengasuh pondok sedemikian rupa dengan tujuan agar santri memiliki wawasan aneka budaya dan tradisi yang luas. Biasanya dalam satu kamar tidak boleh ada lebih dari 3 orang yang berasal dari daerah yang sama dengan maksud untuk melebur semangat kedaerahan ke dalam semangat uang lebih universal. Penerapan sistem ini tidak menafikan unsur daerah yang dibawa oleh masing-masing santri karena sebenarnya unsur ini telah diakomodir dalam kegiatas kedaerahan yang disebut dengan konsulat yang ketentuan organisasi dan kegiatannya telah diarahkan untuk tidak fanatik kedaerahan.
2.    Pendidikan toleransi atas perbedaan dalam pemikiran dan ijtihad diajarkan kepada santri tanpa pemaksaan, atau mengajarkan mereka untuk memaksakan ide.
G.    IMPLIKASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM DI PESANTREN
Pesantren sebagai salah satu ruang pendidikan formal dan nonformal, terutama dalam ranah pendidikan agama islam, merupakan sebuah potensi yang bisa digunakan untuk mengenalkan pemahaman mengenai multikulturalisme. Dalam konteks modernitas pesantren ini mulai muncul diawal abad ke-20. Modernisasi pesantren semakin nampak pasca Indonesia merdeka dan telah menjadi trend dikalangan umat Islam, yang memandang pesantren modern adalah lembaga pendidikan yang diyakini mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi kebutuhan hidup masyarakat.
Pendidikan multikulturalisme dalam pesantren diwujudkan dalam bentuk pengajaran materi kewarganegaraan yang telah dikurikulumkan. Dalam bidang non-formal, pesantren dengan kelebihan pendidikan intens 24 jamnya, memiliki banyak waktu untuk menyisipkan aneka pendidikan. Salah satunya yaitu aturan diberlakukannya penempatan santri dalam asrama yang bersifat heterogen. Hal ini guna menumbuhkan jiwa sosial mereka terhadap keragaman, memberi variasi kehidupan bagi para santri, juga menuntun mereka memperluas pergaulan dan membuka wawasan mereka terhada aneka tradisi dan budaya santri-santri lainnya. Orientasi kemanusiaan dalam pendidikan multikultural ini relevan dengan konsep hablum min annas yang menurut Abdul Aziz Sachedina, menempatkan manusia pada dua posisi. Posisi pertama bahwa manusia merupakan makhluk terbaik (ahsanu taqwim) diantara makhluk-makhluk Allah di muka bumi ini. Adapun posisi kedua adalah bahwa manusia harus tunduk kepada hukum Allah dalam rangka memelihara keberlangsungan hidup manusia di muka bumi ini.
Pendidikan toleransi atas perbedaan juga kental diajarkan dalam sistem pendidikan pondok modern. Keberagaman pemikiran dan ijtihad diajarkan kepada santri tanpa pemaksaan, atau mengajarkan mereka untuk memaksakan suatu ide. Dengan intensitas pendidikan yang selama 24 jam ini sangat efektif untuk memberikan pembelajaran dan pengajaran kepada santri dan tidak hanya sebatas pada ruang kelas saja. Dalam perspektif Islam, nilai kebersamaan ini relevan dengan konsep saling mengenal (ta’aruf) dan saling menolong (ta’awun) dan hal ini dapat dijadikan landasan etik untuk membangun hubungan sosial yang baik dalam masyarakat yang majemuk.
Pendidikan multikultural di pesantren juga tercermin dari muatan atau isi kurikulum yang mengajarkan beragam keyakinan. Dalam kelompok bidang studi Dirasah Islamiyah, sebagai contoh, diajarkan materi khusus seperti (Perbandingan Agama) yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, fenomena dan dinamika keagamaan di dunia. Materi ini sangat potensial membangun kesadaran toleransi keragaman keyakinan yang akan ditemui para santri pada saat hidup bermasyarakat kelak.
Dalam pendidikan sikap multikulturalistik, pondok modern menerapkan pewawasan rutin melalui visualisasi aneka kultur dan budaya para santrinya. Setiap tahun ajaran baru biasanya digelar seremoni besar dengan salah satu materi acara berupa pertunjukan aneka kreasi dan kreativitas budaya dari semua elemen santri. Semua santri diwajibkan terlibat dalam kegiatan ini. Kegiatan ini ditujukan untuk menjadi pencerah awal dan pewawasan kebhinekaan budaya dalam lingkungan yng akan mereka huni.















BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan:
Secara etomologis pendidikan endidikan multikultural didefinisikan sebagai pendidikan yang memerhatikan keragaman budaya peserta didik. Sedangkan secara terminlogis definisi pendidikan multikultural dikemukakan oleh beberapa tokoh, salah satunya oleh James A. Banks yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan konsep pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik tanpa memandang gender dan kelas sosial, etnik,  ras, agama, dan karakteristik kultural mereka untuk belajar di dalam kelas.
Karakteristik adalah sifat-sifat yang perlu diteliti berkenaan dengan kekhasan yang membedakan seseorang dengan orang lainnya. Sonia Nieto menyatakan bahwa ada 7 karakteristik dari pendidikan multikultural, yakni antiracist education (pendidikan yang tidak membenci ras orang lain), basic education (pendidikan dasar), important for all students (penting bagi semua sisawa), pervasive (luas), education for sosial justice (pendidikan untuk keadilan sosial), education as process (pendidikan adalah suatu proses), dan critical pedagogy (pendidikan kritis).
Pembahasan tentang kurikulum pendidikan multikultural difokuskan pada empat hal, yaitu kompetensi, materi, proses pembelajaran, dan evaluasi. Empat hal tersebut termasuk komponen inti dari kurikulum yang diterapkan oleh pendidikan multikultural. Berkaitan dengan kurikulum, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dibebaskan menyusun dan melaksanakan kurikulum  sendiri. Menurut Lukens-Bull, secara umum kurikulum pesantren dapat dibedakan menjadi 4 bentuk, yaitu kurikulum berbentuk pendidikan agama islam, kurikulum berbentuk pengalaman dan pendidikan moral, kurikulum berbentuk sekolah dan pendidikan umum, dan kurikulum berbentuk keterampilan dan kursus.
Dalam konteks pondok pesantren pendidikan multikultural sesungguhnya telah menjadi pendidikan dasar yang tidak hanya diajarkan dalam pengajar formal di kelas saja. Tapi juga dilakukan dalam kehidupan sehari-hari santri. Pendidikan formal multikultural ini diwujudkan dalam bentuk pengajaran materi keindonesiaan/kewarganegaraan yang telah dikurikulumkan. Dalam bidang non formal, pesantren dengan kelebihan pendidikan intens 24 jamnya, memiliki banyak waktu untuk menyisipkan aneka pendidikan. Salah satunya pendidikan multikultural. Pola umum yang nyaris diberlakukan di berbagai pesantren adalah sistem pendidikan multikultural yang menyatu dalam aturan dan disiplin pondok. Salah satu contohnya dalam urusan penempatan pemondokan (asrama) santri.
Adanya pembelajaran pendidikan multikultural yang dimasukkan dalam kurikulum pesantren merupakan salah satu contoh praktik pendidikan multikultural dalam pembelajaran yang sifatnya formal. Sedangkan sistem pendidikan multikultur yang menyatu dalam aturan dan satu disiplin pondok merupakan salah satu contoh praktik pendidikan multikultural dalam pembelajaran yang sifatnya non-formal.
Salah satu implikasi pendidikan multikultural di pesantren tercermin dari muatan atau isi kurikulum yang mengajarkan beragam keyakinan. Dalam kelompok bidang studi Dirasah Islamiyah, sebagai contoh, diajarkan materi khusus seperti (Perbandingan Agama) yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, fenomena dan dinamika keagamaan di dunia. Materi ini sangat potensial membangun kesadaran toleransi keragaman keyakinan yang akan ditemui para santri pada saat hidup bermasyarakat kelak.





















DAFTAR PUSTAKA
Aly, Abdullah. Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren. 2011. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Anin Nurhayati. Inovasi Kurikulum: Telaah terhadap Perkembangan Kuriulum Pendidikan Pesantren. 2010. Yogyakarta: Teras
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Jakarta: Balai Pustaka
H.A.R Tilaar. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. 2004. Jakarta: Rineka Cipta
Kuntowijoyo. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. 1991. Bandung: Mizan
Qomar Mujamil. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratis Institusi. Jakarta: Erlangga
(Musa Asy’arie. Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa)http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/03/opini/1246546 diakses pada hari Senin, 14 Maret 2016 pukul 12.30 WIB
http://m.kompasiana.com/minten_ayu_larassati/karakteristik-pendidikan-multikultural_55290346f17e611b2c8b45be diakses pada hari Senin, 14 Maret 2016 pukul 12.35 WIB
https://vivixtopz.wordpress.com/artikel-islam/pesantren-modern-dan-pendidikan-multikulturalisme/ (diakses tanggal 4 maret 2016  jam 09.50 WIB)

IMPLEMENTASI SYARIAH


BAB 2
PEMBAHASAN
A.    IJTIHAD
1.    PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad berasal dari kata ijtihada ( (اجتھدartinya ialah bersungguh-sungguh, rajin, giat. Sedangkan apabila meneliti dari ma’na kata ja-hada, artinya ialah mencurahkan segala kemampuan. Jadi, menurut bahasa, ijtihad adalah berupaya atau berusaha yang sungguh-sungguh. Perkataan ini tentu saja tidak akan dipergunakan di dalam sesuatu yang tidak mengandung kesulitan dan keberatan. Saiyid Muhammad Al-Khudloriy (dalam kitabnya “Ushulul Fiqh” hal. 367) demikian pula Dr. Wahbah Az-Zahiliy (dalam kitabnya “Al-Wasith fi Ushulilfiqhil Islamiy” hal. 590) memberikan contoh: اجتھد فی حمل حجر الرّحا (Dia berusaha keras membawa batu guling), dan tidak akan dikatakan: اجتھد فی حمل خردلۃ (berusaha sungguh-sungguh membawa sebiji-bijian).
Kemudian dikalangan para ‘ulama’ perkataan ini khusus digerakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (al-faqih) dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syari’at. Dengan demikian, ijtihad ialah perbuatan-perbuatan istinbath hukum syar’iyyah dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari’at.
Imam Al-Ghozaliy yang diikuti juga oleh Khudloriy mendefinisikan ijtihad dengan “usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dengan sungguh-sungguh dalam rangka mengetahui/menetapkan tentang hukum-hukum syari’ah. Ada pula yang mengatakan, ijtihad ialah qiyas, tetapi oleh Imam Al-Ghozaliy (dalam kitab Al-Mustashfa) pendapat itu tidak disetujuinya, menurutnya itu adalah keliru, sebab ijtihad itu lebih umum daripada qiyas, sebab kadang-kadang ijtihad itu memandang di dalam keumuman dan lafadzh-lafadzh yang pelik dan semua jalan asillah (berdalil) selain daripada qiyas. Imam Syafi’iy sendiri menyebutkan bahwa dalam arti sempit qiyas itu adalah ijtihad (dalam kitab “ar-Risalah” hal. 477).

2.    KEDUDUKAN IJTIHAD
Ketetapan adanya ijtihad merupakan pokok syari’at, dapat diketahui baik dengan isyarat ataupun dengan jelas-jelas di dalam ajaran-ajaran agama, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa ayat 105 dan QS. Ar-Ra’du ayat 3) dan As-Sunnah membolehkan melakukan ijtihad.
As-Syaikh Muhammad Khudloriy (dalam kitabnya “Ushulul Fiqh” hal. 368), mengemukakan hukum-hukum ijtihad sebagai berikut:
a.    Wajib ‘ainiy, yaitu bagi seseorang yang ditanyai akan suatu peristiwa, dan peristiwa itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami sesuatu peristiwa yang ia sendiripun juga mengetahui hukumnya.
b.    Wajib kifa-iy, yaitu apabila seseorang ditanyai tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, dan disamping itu masih ada mujtahid lain. Apabila salah seorang mujtahid saja sudah menyelesaikan soal itu, atau sudah ada seorang saja yang berijtihad menyelesaikan soal tersebut, kewajiban tersebut sudah gugur atas yang lain-lain. Artinya, ijtihad satu orang tersebut sudah membebaskan beban kewajiban berijtihad. Tetapi apabila tidak seorangpun yang melakukan ijtihad dari kalangan mujtahidin, mereka semua berdosa.
c.    Sunnat (annabdu), yaitu hukum atas sesuatu yang belum terjadi, baik hal itu ditanyakan atau tidak. Di dalam hal ini lebih-lebih apabila yang dikemukakan itu tidak pernah terjadi.

3.    MACAM-MACAM IJTIHAD
Dr. Ad-Duwa-li bi, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Wahbah membagi macam-macam ijtihad menjadi tiga macam:
a.    Al-Ijtihadul bayaniy, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syar’iyah dari nash-nash syari’ (yang memberikan syari’at yang menentukan syari’at).
b.    Al-Ijtihadul qiyasiy, yaitu melakukan (wadl’an) hukum-hukum syar’iyah untuk kejadian-kejadian/peritiwa-peristiwa yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat di dalam nash-nash hukum syar’i.
c.    Al-Ijtihadul ishthishlahiy, inipun juga meletakan (wadl’an) hukum-hukum syar’iyah, untuk peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang untuk itu tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan mempergunakan ar-ro’yu yang disandarkan atas ishthishlah.
Tetapi pembagian ini dikritik oleh Ustadz Muhammad Taqiyyulhakim dengan mengatakan, pembagian itu menurut logika tidak meliputi segala macam tentang yang ada, sebab tidak mencakup ijtihad istihsaniy dan lain-lain yang menjadi pegangan para fuqoha’, bahkan sebagian mereka berpendapat bahwa pembagian tersebut mencapai jumlah kepada 19 macam, sebagaimana disebut oleh Ath-Thufiy di dalam risalahnya, yang diikuti juga oleh Jamaluddin Al-Qosimiy kepada empat puluh dalil lebih. Dan disamping itu qiyas itu sendiri tidak keseluruhannya selalu menjadi bagian dari ijtihad bayaniy. Demikian pula membedakan antara jalan ‘penjelasan’ (bayan) untuk yang pertama, sedang yang kedua dan ketigas dengan ‘meletakkan’ (wadl’an). Ini keluar dari ijma’ kaum muslimin.
Ustadz Hakim membaginya kepada ijtihad ‘aqliyah dan ijtihad syar’iyah, sebagai berikut:
a.    Ijtihad ‘aqliyah ialah apabila hujjah-hujjahnya mantap itu, melulu ‘aqal saja dan tidak menerima untuk dijadikan sebagai syar’iy, yaitu hal-hal yang semata-mata ‘aqliy, aturan-aturan yang biasanya untuk menolak kemadlaratan dan lain-lain.
b.    Ijtihad syar’iyah ialah yang memerlukan kepada menjadikan kehujjahannya itu sebagian dari hujjah-hujjah syar’iy, dan dalam kelompok ini termasuk Ijma’, qiyas, istihsan, istishalah, ‘urf, istishhab dan lain-lain.

4.    MUJTAHID DAN SYARAT-SYARATNYA
Mujtahid ialah orang yang berijtihad.berbicara tentang syarat-syarat ijtihad tidak lain dari berbicara tentang syarat-syarat mujtahid, demikian pula sebaliknya, yaitu berbicara tentang syarat-syarat mujtahid tidak lain berbicara tentang syarat-syarat ijtihad.
Imam Al-Ghozaliy (dalam kitabnya “Al-Mustashfa” II/hal. 102) menyatakan, menjadi mujtahid harus mempunyai dua syarat:
a.    Mengetahui dan menguasai ilmu syara’, mampu melihat yang dzhon  di dalam hal-hal syar’i, mendahulukan apa yang wajib didahulukan dan membelakangkan apa yang mesti dikemudiankan.
b.    Seorang yang adil, menjauhi segala maksiat yang membuat rusak sifat atau sikap keadilan (‘adalah). Syarat ini menjadi landasan apakah fatwanya dapat dijadikan pegangan atau tidak. Orang-orang yang tidak mempunyai sifat adil, fatwanya tidak boleh menjadi pegangan. Adapun sifat adil untuk dirinya sendiri, artinya fatwa atau ijtihadnya itu untuk dirinya sendiri, sifat tidak adil itu tidaklah menjadi halangan. Artinya di dalam ia bersifat tidak adi itu boleh saja berijtihad untuk dirinya sendiri, dan fatwanya menjadi pegangan untuk dirinya sendiri.
Asy-Syatibiy (dalam kitab “Al-Muwafaqot” IV/hal. 105-106) menyatakan seorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila memiliki dua syarat:
a.    Mengerti dan faham akan tujuan-tujuan syari’at dengan sepenuhnya, sesempurnanya, secara keseluruhannya.
b.    Mampu melakukan istinbath berdasarkan faham dan pengertiannya terhadap tujuan-tujuan syari’at tersebut.
Tetapi syarat-syarat yang akan memungkinkan seseorang melakukan ijtihad apabila ia memenuhi syarat-syarat berikut ini:
a.    Mengetahui apa yang ada pada Allah SWT, mengetahui sifat-sifat wajib Allah SWT, percaya adanya Rosul dan apa yang dibawa oleh Rosul, juga percaya akan mukjizat-mukjizat Rosul. Mengetahui ayat-ayat-NYA yang nyata, sehingga pendapat-pendapat dan hukum yang mujtahid sepakati memang nyata dan benar. Akan tetapi, tidak diisyaratkan bagi mujtahid mengetahui ilmu kalam sampai sedetail-detailnya, juga tidak perlu mahir dalam ilmu kalam. Cukuplah bagi mujtahid mengetahui apakah yang dinamakan iman itu, dan tidak pula harus mengetahui ilmu kalam sampai dalil yang terperinci. Namun, cukuplah mujtahid mengetahui dalil-dalil perkara-perkara dengan global saja, tidak secara mendetail dan terperinci.
b.    Merupakan seorang yang pandai (‘alim), bijaksana (‘arif) tentang keseluruhan hukum-hukum syari’at dan pembagian-pembagiannya, jalan-jalan menetapkannya, segi-segi dalil atas yang di dalilinya, perbedaan-perbedaan tingakatan-tingakatannya, syarat-syarat yang tepat untuk itu, dan mujtahid harus tahu arah pentarjihannya ketika terdapat kontradiksi di dalamnya, tahu cara mengembangkan hasilnya dan mampu pula membebaskan maupun menetapkan serta tahu pula memisahkan keberatan-keberatan yang terdapat di dalamnya.
c.    Mengetahui nasikh dan mansukh, baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, agar mujtahid tidak keliru berpegang kepada yang mansukh yang sudah ditinggalkan padahal ada nasikhnya, sehingga menyebabkan ijtihadnya itu batal, dalam hal ini cukuplah mujtahid melihat kepada kitab-kitab yang terkenal dalam bidang ini, contoh; kitab Ibnu Khuzaimah, kitab Abu Ja’far An-Nahhas, kitab Ibnu Jauziy, kitab Al-Hazimiy, kitab Ibnu Hazmin dan lain-lainnya. Dalam hal ini tidak diisyaratkan bagi mujtahid mengetahui keseluruhan ayat nasikh dan ayat mansukh dan tidak pula harus menghafalnya. Cukuplah bagi mujtahid pada segala hal yang mujtahid fatwakan itu memang berdasarkan ayat hukum atau hadits hukum yang memang berlaku.
d.    Mengetahui masalah-masalah ijma’ dan kedudukan-kedudukannya, sehingga ia tidak akan memberikan fatwa yang bertentangan dengan ijma’. Namun, bukan berarti ia harus hafal seluruh masalah ijma’ dan apa yang bertentangan dengan ijma’, dalam hal ini cukuplah apa yang ia fatwakan itu sesuai dengan madzhab dari madzhab-madzhab ulama, atau menurut dugaanya peristiwa itu terjadi disuatu masa yang ahlul ijma’ tidak memperbincangkannya, dan mungkin pula bersandar kepada kitab tingkatan-tingkatan ijma’.
e.    Mengetahui segi-segi dan syarat-syarat qiyas yang mu’tabaroh, demikian pula ‘illat-‘illat hukum serta jalan istinbath qiyas terhadap nash-nash, kemaslahatan-kemaslahatan manusia, dan pokok-pokok syari’at yang umum, menyeluruh, sebab qiyas itu qo’idah ijtihad, dan di dalamnya banyak berdiri hukum-hukum tafsili (terperinci).
f.    Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab, Nahwu, Shorof, Ma’aniy, Bayan dan Uslub-uslub, sebab Al-Qur’an dan As-Sunnah berabahasa Arab, karena itu tidak mungkin seseorang melakukan istinbath hukum kecuali dengan faham bahasa Arab. Baik kata perkata maupun secara tersusun, diantaranya juga mengetahui hukum umum dan hukum khusus, hakikat dan majaz, ithlaq dan taqyid, hukum petunjuk kata-kata dan lainnya.
g.    Mengetahui ilmu Ushul Fiqh, sebab ilmu ini merupakan tiang dan asas yang diatasnya berdiri tegak rukun-rukun bangunannya, sebab dalil tafsili menunjukkan kepada hukum dengan perantaraan cara yang tertentu, seperti apakah sesuatu itu perintah, larangan, umum, khusus dan sebagainya.
h.    Memahami tujuan-tujuan syari’at yang umum di dalam meletakkan hukum-hukum, sebab memfahami nash-nash dan menerapkannya kepada peristiwa-peristiwa tertentu tergantung kepada pemahaman terhadap tujuan-tujuan ini (menjaga kemaslahatan manusia, yaitu dengan cara mengusahakan kemanfaatan bagi manusia dan menolak serta menghindarkan bahaya bagi manusia).

5.    TINGKATAN MUJTAHIDIN
Kemampuan dan minat seseorang terbatas. Sejalan dengan hal itu tingakatan-tingkatan mujtahid adalah:
a.    Mujtahid mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Bahkan justru menjadi pendiri madzhab sebagaimana halnya sebagai keempat Imam tokoh-tokoh Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi’iy dan Hanbali.
b.    Mujtahid muntasib, yaitu seorang yang memiliki syarat-syarat untuk berijtihad, akan tetapi ia menggabungkan diri kepada sesuatu madzhab, dengan mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh Imam Madzhab itu.
c.    Mujtahid muqoyyad, yaitu orang yang terikat kepada suatu madzhab, sekalipun ia sendiri dapat menilai dalil-dalil atau jalan yang ditempuh oleh Imam Madzhab itu dengan tidak keluar dari madzhab itu.
Para ulama Ushul Fiqh dengan sepakat membagi tingkatan mujtahid sebagai berikut:
a.    Mujtahid mustaqil, yaitu yang wajib mempunayi syarat-syarat yang lengkap seorang mujtahid. Mujtahid inilah yang mengqiyaskan hukum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, memberikan fatwa dan lain-lainnya. Yang termasuk dalam kelompok ini ialah seluruh fuqoha sahabat, para fuqoha tabi’in (seperti; Sa’id bin Al-Musaiyab dan Ibrahim An-Yakho’iy), para fuqoha dari golongan mujtahidin (seperti; Ja’far Ash-Shodiq dan ayahnya (Muhammad Al-Baqir), Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad Al-Auza’iy, Al-Laits bin Sa’d, Sufyan Ats-Tsauriy, Abu Tsaur, dan lain-lain)
b.    Mujtahid muntasib, yaitu mereka yang memilih mengikuti pendapat imam tertentu dalam hal pokok, tetapi berbeda di dalam hal furu’, misalnya dikalangan Hanafiy ialah Abu Yusuf dan muridnya (Muhammad bin Al-Hasan dan Zufar), dikalangan Syafi’iy yaitu Al-Muzaniy, sedang dikalangan Al-Maliky ialah Abdur Rochman bin Al-Qosim.
c.    Mujtahid madzhab, yaitu mereka yang mengikuti imam, baik dalam ushul maupun dalam furu’.
d.    Mujtahid murjiih, yaitu mereka yang tidak mengadakan istinbath dan masalah-masalah yang tidak diketahui hukumnya. Mereka sekedar mentarjih pendapat-pendapat yang mereka temukan.

B.    IITTIBA’
1.    PENGERTIAN IITTIBA’
Ittiba’ berasal dari bahasa Arab, kata kerja (fi’il) nya ialah “ittaba’a”, “yattabi’u”, “ittibaa’an”, “muttabi’un”, yang berarti “menurut” atau “mengikuti”. Dalam Al-Qur’an kata “ittaba’a” juga berarti mengikuti.
Menurut ulama Ushul Fiqh ittiba’ ialah mengikuti atau menurut semua yang diperintahkan, yang dilarang dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW, baik berupa perintah atau larangan.
Para ulama Ushul Fiqh lain mengemukakan definisi yang hampir sama dengan definisi diatas, yaitu; ittiba’ ialah menerima pendapat seseorang, sedang yang menerima itu mengetahui darimana asal pendapat itu.

2.    MACAM-MACAM IITIBA’
a.    Ittiba’ kepada Allah SWT dan Rasul-Nya
Para ulama sepakat bahwa seluruh kaum muslimin wajib mengikuti segala perintah Allah SWT dan menjauhi larangan Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ
Artinya:    “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. (Q.S. Al-A’raf: 2)
Dan firman Allah SWT:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (٤٩) أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (٥٠)
Artinya:    “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu dari sebahagian dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Apakah hukum kaum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang yang yakin”. (Q.S. Al-Maidah: 49-50)
Ayat-ayat diatas memerintahkan dengan tegas agar kaum muslimin melaksanakan semua perintah Allah SWT dan meninggalkan semua larangan-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an, seperti beriman kepada-Nya, mengerjakan sholat, menunaikan zakat, mengerjakan puasa bulan Ramadhan dan sebagainya. Sedang larangannya seperti larangan mempersekutukan Allah, larangan makkan darah, minum khamr dan sebagainya.
Jika kaum muslimin wajib melaksanakan perintah Allah dan menghentikan larangan Allah, berarti kaum muslimin wajib pula mengikuti Rasul yang telah diutus-Nya, karena beliaulah yang menyampaikan dan menerangkan maksud wahyu Allah (Al-Qur’an). Sebagaimana hadits Rasulullah SAW:
Artinya:    “Dari Abu Hurairah ra. semoga Allah meridhainya, ia berkata, berkata Rasulullah SAW. “Tinggalkanlah aku, jangan tanyakan apa-apa yang telah kutinggal (tidak diterangkan kepada kamu) karena orang-orang sebelum kamu menjadi binasa, tidak lain hanyalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan perbedaan (pembengkakan mereka terhadap nabi-nabi (yang diutus) kepada mereka). Karena itu apabila aku melarangmu sesuatu maka tinggalkanlah larangan itu”. Pada riwayat lain, “Maka apabila aku melarangmu sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kepadamu suatu perintah, kerjakanlah sesuai dengan kesanggupanmu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Perintah dan larangan Rasul ini ada yang berupa menguatkan apa yang telah dinyatakan Al-Qur’an, atau menjelaskannya atau menyebutkan sesuatu yang belum disebut dalam Al-Qur’an. Seperti perintah berbuat baik yang tersebut dalam Al-Qur’an atau ajaran nikah, kemudian hal ini ditegaskan pula oleh hadits Nabi SAW. Perintah mengerjakan shalat lima waktu disebut dalam Al-Qur’an secara garis besarnya saja, kemudian dijelaskan oleh hadits bagaimana cara-cara mengerjakan shalat itu dan sebagainya.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya ini dilaksanakan para sahabat dengan baik di masa Rasulullah SAW masih hidup dan di waktu beliau meninggal dunia. Pada masa Nabi SAW masih hidup para sahabat langsung mengikuti perintah Allah dan Rasul dan menghentikan semua larangannya. Setelah beliau wafat mereka berittiba’ dengan mengikuti semua yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Cara yang dilakukan para sahabat ini dilakukan pula oleh para tabi’in dan generasi berikutnya.
b.    Ittiba’ selain kepada Allah dan Rasul-Nya
Berbeda pendapat para ulama tentang ittiba’ kepada para ulama atau kepada para mujtahid. Ada yang berpendapat membolehkannya dan ada yang berpendapat tidak membolehkannya. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasulullah dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. Hal ini terfahami dari perkataan beliau kepada Abu Daud, yaitu:‎‏‎
Artinya:    Berkata Abu Daud, aku mendengar Ahmad berkata: “Ittiba’ itu ialah seorang mengikuti yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya”.
Pendapat yang lain membolehkan berittiba’ kepada para ulama yang dapat dikategorikan sebagai ulama warasatu anbiyaa’ (ulama sebagai pewaris para nabi). Mereka beralasan dengan firman Allah SWT:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:    ”Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”. (Q.S. An-Nahl: 43)
Pada ayat diatas terdapat perkataan “ahludz dzikr” (orang-orang yang mempunyai pengetahuan). Yang dimaksud dengan ahludz dzikr menurut mereka ialah orang-orang yang ahli dalam ilmu Al-Qur’an dan Hadits, bukan pengetahuan yang berdasarkan pengetahuan semata. Apabila ahludz dzikr ditanya tentang hukum dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ia menjawab: Allah SWT berfirman . . . . . . . . . . .  atau Rasulullah SAW bersabda . . . . . . . . Dan maksudnya ialah demikian, demikian, dan sterusnya. Lalu yang bertanya beramal sesuai dengan yang disampaikan itu benar berasal dari Al-Qur’an dan hadits. Jika demikian halnya tidaklah menjadi persoalan, dan hal ini dibolehkan.
Yang menjadi persoalan ialah jika ahludz dzikr itu menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits terlalu jauh, meyimpang bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip atau asas-asas ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Terhadap ahludz dzikr yang demikian tidak dibolehkan kaum muslimin berittiba’ kepadanya bahkan dan hendaklah bersikap berhati-hati terhadap orang yang berbuat demikian diancam Allah dengan azab.

3.    TUJUAN IITTIBA’
Seorang yang akan melakukan ittiba’ tidak memerlukan syarat-syarat, seperti syarat-syarat yang diperlukan seorang mujtahid. Jika ia tidak sanggup memecahkan suatu persoalan agama ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau orang yang benar-benar mengerti hukum agama Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Setelah ia menerima jawaban dan ia benar-benar yakin bahwa jawaban itu sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka hendaklah ia mengamalkannya. Dengan demikian diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, dapat mengamalkan ajaran Islam dengan penuh keyakinan dan pengertian, tanpa diselimuti keragu-raguan sedikitpun.
Berittiba’ tidak harus dilakukan kepada seorang mujtahid (satu mujtahid), tetapi dapat dilakukan kepada beberapa orang mujtahid (banyak mujtahid). Mungkin dalam satu masalah mengikuti mujtahid A, tetapi dalam masalah yang lain mengikuti B dan seterusnya.

C.    TAQLID
1.    PENGERTIAN TAQLID
Kata taqlid تقليد)) berasal dari fi’il madhi تقلد dan قلد yang secara lughawi berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”. Kata taqlid mempunyai hubungan erat dengan kata qaladah (قلادة) sedangkan qaladah itu sendiri berarti kalung. Menurut asal katanya, قلادة (kalung) itu digunakan untuk sesuatu yang diletakkan membelit leher seekor hewan, dan hewan yang dikalungi itu mengikuti sepenuhnya ke mana saja kalung itu ditarik orang. Jika yang dijadikan “kalung” itu adalah “pendapat” atau “perkataan” seseorang, maka berarti orang yang dikalungi itu akan mengikuti “pendapat” orang tadi tanpa mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang tersebut demikian.
Dari uraian tersebut, maka jelas secara lughawi bila dikatakan, “si A ber-taqlid kepada si B”, berarti si A mengikuti pendapat si B itu dengan patuh tanpa merasa perlu mengetahui kenapa pendapat si B begitu.
Selain itu definisi taqlid juga disampaikan oleh beberapa tokoh, antara lain:
a.    Al-Ghazali yang mendefinisikan taqlid sebagai:
قَبُولُ قَولٍ بِلآ حُجَّةٍ
Menerima ucapan tanpa hujah.
b.    Al-Asnawi dalam kitab Nihayat al-Ushul mengemukakan definisi:
التَّقْلِيدُ هُوَالأَخْذُ بِقَولِ غَيرِهِ مِنْ غَيرِ دَلِيلٍ
Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil.
c.    Ibn Subki dalam kitab Jam’ul Juwami’ merumuskan definisi:
التَقْلِيدُأَخْذُالقَولِ مِنْ غَيرِمَعْرِفَةِ دَلِيلٍ
Taqlid ialah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil.
d.    Para ulama ushul fiqh umumnya menetapkan definisi taqlid sebagai berikut:
قَبُولُ قَولِ القَائِلِ وَاَنْتَ لَمْ تَعْلَمْ مِنْ اَيْنَ قَا لَهُ
Penerimaan perkataan seseorang sedang engkau tidak mengetahui dari mana asal perkataan itu.
Jadi menurut ulama ushul fiqh, ada dua hal yang terdapat dalam taqlid, yaitu:
    Menerima atau mengikuti perkataan orang lain.
    Pendapat yang diikuti itu tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadis atau tidak.

Karena pendapat mengenai definisi taqlid sebelumnya dinilai samar atau kurang jelas, Ibn Al-Humman (dari kalangan ulama Hanafiyah) memberikan definisi lebih lengkap yang menjelaskan kesamaran dalam definisi sebelumnya, yakni:
التَّقْلِيدُالعَمَلُ بِقَولِ مَنْ لَيسَ قَولُهُ إِحْدَى الحُجُجِ بِلآ حُجُّةٍ مِنْهَا
Taqlid ialah beramal dengan pendapat seseorang yang pendapatnya itu bukan merupakan hujah, tanpa mengetahui hujahnya.
Sehubungan dengan definisi tersebut, maka menerima pendapat Nabi yang bernilai hujah dengan sendirinya, begitu pula jika menerima pendapat yang lahir dari kesepakatan dalam ijma’, maka tidak disebut taqlid, meskipun pada waktu menerimanya tanpa hujah atau tidak mengetahui dalilnya. Sebaliknya, pendapat mujtahid secara perseorangan adalah bukan hujah, maka bila seseorang mengikuti pendapat mujtahid itu tanpa mengetahui dalilnya, disebutu taqlid.

2.    HUKUM TAQLID
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan melarang orang Islam ikut-ikutan dalam menjalankan agama, di antaranya firman Allah dalam QS. Luqman: 21
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا
Artinya:
Dan apabila dikatakan kepada mereka ikutilah apa-apa yang telah diturunkan Allah mereka berkata: bahkan kami mengikuti apa-apa yang kami temukan bapak-bapak kami melakukannya.
Di samping itu, ada pula ayat yang mengisyaratkan tidak perlu semua mendalami pengetahuan agama, tapi cukup sebagian orang saja, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah pada QS. At-Taubah: 122
فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ
Artinya:
Kenapa tidak keluar sebagian dari setiap golongan di antara mereka untuk mendalami pengetahuan agama dan mengajari (memperingatkan) kaumnya setelah mereka kembali.
Karena sebagian yang tahu pengetahuan agama dan banyak yang tidak tahu, maka yang tahu itu disuruh bertanya kepada yang tahu, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl: 43
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:
Bertanyalah kepada para ahli ilmu, jika kamu tidak mengetahui.

Hukum taqlid dibagi menjadi 3, yakni:
a.    Haram
•    Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis. Contohnya kebiasaan dan perkataan orang-orang dahulu, yakni jika seseorang melakukan tirakatan selama tujuh malam di makam si A, ia akan memperoleh apa yang diinginkannya. Adat kebiasaan dan perkataan ini diikuti orang, sedang tidak terdapat dasarnya dalam Al-Qur’an dan hadis. Bahkan Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 170
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ
 آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Artinya:
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah” mereka menjawab: (Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami (apakah mereka mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?
Perbuatan mengikuti adat kebiasaan dan perkataan nenek moyang semacam itu termasuk perbuatan yang dilaknat Allah SWT, tidak akan mendapat pertolongan-Nya di dunia dan di akhirat nanti.
•    Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, kekuasaan atau keahlian berhala tersebut.
•    Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah, sebagaimana firman Allah dalam QS. At-Taubah: 31
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا
 لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya:
Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga) mereka mempertuhankan Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Sehubungan dengan ayat tersebut, Ady bin Hatim berkata: aku pernah datang kepada Rasulullah dan pada leherku ada salib, beliau berkata: “Hai Ady lemparkan salib ini dari lehermu dan jangan lagi kamu pakai.” Kemudian beliau membaca QS. At-Taubah: 31. Ady berkata: Ya Rasulullah, kami tidak menjadikan pendeta-pendeta itu sebagai Tuhan. Rasulullah bersabda:
Bukankah mereka menghalalkan bagimu apa yang diharamkan Allah dan mereka telah mengharamkan atasmu apa yang telah dihalalkan Allah bagimu, lalu kamu mengharamkannya pula.
Dari ayat ini dipahamkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani menganggap pendeta dan rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. Sebabnya ialah karena mereka bertaqlid kepada pendeta dan rahib mereka itu. Apa yang dikatakan dan diperintahkan oleh pendeta dan rahib mereka ikuti dan laksanakan tanpa memikirkan dan mempertimbangkan apakah yang disampaikan itu benar berasal dari Allah atau tidak. Yang terpenting mereka melaksanakan dengan patuh semua yang disampaikan dan diperintahkan itu. Hal ini dikemukakan Allah secara analogi dalam ayat ini, bahwa orang yang bertaqlid kepada pendeta dan rahib atau ulama sedang mereka mengetahui kesalahan-kesalahan mereka sama dengan orang yang telah menyembah atau menjadikan Tuhan-Tuhan lain selain Allah. Perbuatan ini sangat dicela bahkan dilarang keras oleh Allah dan Rasul.
Taqlid yang tiga macam ini dicela oleh Allah dan pelakunya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di kemudian hari, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Israa’: 36
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.
Seandainya seseorang merasa dirinya tidak mempunyai ilmu atau tidak dapat mengambil pengertian suatu ayat atau hadis, hendaklah ia menanyakan hal itu kepada ahlinya, dengan catatan tidak boleh seorang awam bertaqlid kepada seorang ulama dengan anggapan bawa ulama itu tidak mungking salah atau pasti benar dan tidak boleh bertulis kepada orang yang mengharuskan berfatwa sesuai dengan madzhab Hanafi sehingga semua persoalan harus kembali kepada madzhab Hanafi saja atau dengan madzhab tertentu saja.


b.    Boleh
Dibolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan Rasulullah yang berhubungan dengan persoalan atau suatu peristiwa dengan syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenara masalah yang diikuti itu. Dengan kata lain, taqlid ini hanya untuk sementara saja.
Sehubungan dengan ini Ad Dahlawi berpendapat bahwa taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam arti mengikuti pendapat seorang alim karena belum nyata hukum Allah dan Rasul-Nya. Namun akan segera meninggalkan pendapat itu bila ternyata berlawanan dengan hukum Allah dan Rasulullah.
c.    Wajib
Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataan dan perbuatannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.

3.    KETENTUAN TAQLID
Sebelumnya telah dijelaskan mengenai hukum taqlid, yakni diperbolehkan seseorang bertaqlid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan Rasulullah yang berhubungan dengan persoalan atau suatu peristiwa dengan syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenara masalah yang diikuti. Dari situ timbul pertanyaan, kepada siapa ia bertqlid?
Ibn al-Humman menunjukkan kesepakatan ulama tentang bolehnya bertaqlid kepada seorang dari kalangan ahli ilmu yang diketahuinya bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk berijtihad dan memiliki sifat ‘adalah. (pengertian ‘adalah atau ‘adil di sini mengandung maksud ‘adil dalam pengertian periwayatan hadis, bukan dalam pengertian peradilan, yaitu seorang yang memiliki kriteria aau sifat tidak pernah melakukan dosa besar, tidak sering melakukan dosa kecil, serta selalu menjaga muru’ah atau harga diri).
Pengetahuannya akan kemampuan seseorang untuk berijtihad dan memiliki sifat adil tersebut diperoleh melalui kepopuleran orang itu atau dari berita tentang dirinya. Menurut kalangan ulama Syafi’iyah bahwa pendapat yang ashah (paling tepat) adalah harus memeriksa tentang keilmuannya dengan cara bertanya kepada orang-orang dan untuk mengetahui keadilannya cukup dari keadilan menurut lahirnya tanpa perlu memeriksanya.
Bila dua syarat tersebut (berilmu dan ‘adil) tidak terdapat pada seseorang, maka tidak boleh bertaqlid kepadanya. Para ulama sepakat bahwa bila diduga kuat ia tidak memiliki satu di antara keduanya, maka orang awam tidak boleh bertanya atau bertaqlid kepadanya.
Bila dalam satu wilayah hanya ada seorang mujahid yang memenuhi syarat tersebut, maka pendapatnya harus diikuti karena memang tidak ada alternatif (pilihan) lain. Namun apabila dalam satu wilayah ada beberapa orang dalam derajat yang sama, maka boleh memilih salah satu di antaranya untuk diikuti.

D.    TALFIQ
1.    PENGERTIAN TALFIQ
Kata talfiq (تلفيق) berasal dari kata لفّق yang artinya mempertemukan menjadi satu atau berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda, sebagaimana pernyataan تَلْفِيْقِ الثَّوْبِ yang artinya mempertemukan dua tepi kain kemudian menjahitnya. Sedangkan menurut istilah, talfiq berarti mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambil dari beberapa madzhab. Contohnya dua orang yang hendak melaksanakan akad nikah tanpa wali dan saksi, hanya dengan melaksanakan iklan (pengumuman) saja. Dasar pendapatnya ialah dalam hal wali mereka mengikuti pendapat Hanafi. Menurut pendapat Hanafi, sah nikah tanpa wali. Sedang mengenai persaksian, mereka mengikuti penapat Malik. Menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi, cukup dengan iklan (pengumuman) saja. Dasar pendapat ini adalah talfiq dengan mengambil pendapat beberapa madzhab dalam satu masalah.

2.    HUKUM TALFIQ
Pada dasarnya, talfiq ini dibolehkan oleh agama selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar dalam arti setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil apa yang dianggap lebih kuat dasar hukumnya.
Akan tetapi ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja dalam arti bahwa yang diikuti adalah pendapat yang paling mudah dikerjakan, sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq yang seperti inilah yang dicela para ulama. Jadi, pada hakikatnya talfiq itu dasarnya adalah niat. Jika niat melakukannya semata-mata untuk mencari kebenaran maka hal itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya jika tujuannya bukan untuk mencari keridhaan Allah, maka yang demikian itu tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Sebagian ulama menolak talfiq dengan tujuan untuk mencari kemudahan. Kemudian Ibnu Subki menukilkan pendapat Abu Ishaq al-Marwazi yang berbeda dengan itu, yaitu membolehkan. Kemudian diluruskan pengertiannya oleh al-Mahalli yang menyatakan fasik melakukannya, sedangkan Ibnu Abu Hurairah menyatakan tidak fasik.
Jika pendapat tersebut kita bandingkan dengan pandangan al-Razi dalam kitab al-Mahshul dan syarahnya yang mengutip persyaratan yang dikemukakan oleh al-Royani dan komentar Ibn ‘Abad al-Salam, dapat disimpulkan bahwa boleh tidaknya talfiq tergantung kepada motivasi dalam melakukan talfiq tersebut. Motivasi ini diukur dengan kemaslahatan yang bersifat umum. Apabila moivasinya negatif, dengan arti mempermainkan agama atau mempermudah agama, maka hukumnya tidak boleh. Misalnya seorang laki-laki menikahi seorang perempuan tanpa wali, tanpa saksi, dan tanpa menyebutkan mahar, padahal untuk memenuhi ketiga syarat tersebut tidak sulit. Maka jelas bahwa orang tersebut menganggap enteng ajaran agama dan mempermainkan hukum syara’. Namun apabila talfiq dilakukan dengan motivasi mashlahat, yaitu menghindarkan kesulitan dalam beragama, maka talfiq dapat dilakukan.
Untuk tindakan berhati-hati dalam melakukan talfiq adalah relevan untuk mengikuti persyaratan yang dikemukakan al-Alai yang diikuti oleh al-Tahrir serta sesuai dengan yang diriwayatkan Imam Ahmad dan al-Quduri yang diikuti Ibn Syureih dan Ibnu Hamdan. Persyaratan dalam talfiq tersebut adalah:
a.    Pendapat yang dikemukakan oleh madzhab lain itu dinilainya lebih bersikap hati-hati dalam menjalankan agama
b.    Dalil dari pendapat yang dikemukakan madzhab itu dinilainya kuat dan rajih.

E.    KHILAFIYAH
1.    PENGERTIAN KHILAFIYAH
Khilafiyah/ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah khalafa-yakhlifu-khilafan (خلف – يخلف – خلافا) yang berarti berselisih, tidak sepaham, perbedaan paham (pendapat). Sedangkan secara terminologis, khilafiyah adalah perselisihan paham atau pendapat dikalangan para ulama fiqh sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.
Perbedaan pendapat dikalangan fuqaha adalah suatu hal yang wajar dan sesuai dengan corak ijtihad, dan mereka sendiri masih tetap berada di sekitar apa yang ditunjuki oleh Syara’.
Dengan demikian, masalah khilafiyah merupakan masalah ijtihad sebagai hasil dari pemahaman terhadap sumber hukum Islam. Seperti firman Allah SWT sebagai berikut:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّا سَ أُ مَةً وَا حِدَةً وَلاَ يَزَ الُوْ نَ مُخْتَلَفِيْنَ
Artinya:    “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Q.S. Hud: 118)
إِنَّكُمْ لَفِيْ قَوْلٍ مُهْتَلِفٍ
Artinya:    “Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat”. (Q.S. Al-Zariyat: 8)
إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِيْ بَيْنَهُمْ يَوْ مَ الْقِيَا مَةِ فِيْمَا كَا نُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ
Artinya:    “Sesungguhnya tuhan kamu akan memutuskan antara mereka dihari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan itu”. (Q.S. Yunus: 93)
Pernyataan Allah dalam beberapa ayat diatas sering terjadi pada diri manusia, karena ikhtilaf memang bisa menimbulkan perbedaan total, baik dalam ucapan, pendapat, sikap maupun pendirian.
Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua orang atau beberapa orang terhadap suatu objek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk “tidak sama” ataupun “bertenntangan secara diametral”.
Jadi yang dimaksud ikhtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilainan (ketentuan) hukum terhadap suatu objek hukum.
Sedangkan yang dimaksud ikhtilaf dalam pembahasan ini adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam (fuqaha’) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain. Misalnya, perbedaan pendapat fuqoha’ tentang hukum wudhu seorang lelaki yang menyentuh perempuan dan hukum membaca surah al-fatihah bagi ma’mum dalam shalat dan lain-lain.

2.    FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA MASALAH KHILAFIYAH
Ditinjau dari segi sebab dan akarnya, ada dua bentuk ikhtilaf/khilafiyah (perselisihan), yaitu:
a.    Ikhtilaf/khilafiyah yang disebabkan oleh faktor akhlaq
Ikhtilaf/khilafiyah yang disebabkan oleh faktor akhlaq ini diketahui oleh para ulama dan murabbi (pembina) yang memperhatikan beraneka motifasi dari berbagai sikap dan peristiwa.
Di antara sebab-sebabnya yaitu sebagai berikut:
    Membanggakan diri dan mengagumi pendapatnya sendiri.
    Buruk sangka kepada orang lain dan mudah menuduh orang lain tanpa bukti.
    Egoisme dan mengikuti hawa nafsu. Di antara akibatnya: ambisi terhadap kepemimpinan atau kedudukan.
    Fanatik kepada pendapat orang, madzhab, dan golongan.
    Fanatik kepada negeri, daerah, partai, jama’ah, atau pemimpin.
Semua ini adalah akhlaq tercela dan muhlikat (hal yang mencelakakan) dalam pandangan para ‘ulama qulub (ulama yang menyelidiki masalah hati). Ikhtilaf yang timbul karena perangai yang tercela ini adalah perselisihan tidak terpuji, bahkan termasuk kategori perpecahan yang tercela.
b.    Ikhtilaf yang timbul karena faktor pemikiran
Ikhtilaf ini timbul karena perbedaan sudut pandang mengenai suatu masalah, baik masalah ‘alamiah ataupun masalah ‘amaliah. Contoh dalam masalah ‘alamiah adalah perbedaan menyangkut cabang-cabang syari’at dan beberapa masalah aqidah yang tidak menyentuh prinsip-prinsip yang pasti. Adapun dalam masalah ‘amaliah adalah perbedaan mengenai sikap-sikap politik dalam pengambilan keputusan atas berbagai masalah, akibat, perbedaan sudut pandang, kelengkapan data dan informasi, pengaruh-pengaruh lingkungan akhir zaman.
Sebagian ikhtilaf bersifat politik semata, yakni berkaitan dengan pertimbangan antara kemaslahatan dan kemadharatan, antara pencapaian dan kerugian di masa sekkarang dan yang akan datang.
Sebagian yang lain bersifat fiqih murni, yakni kembali kepada perbedaan hukum syar’i mengenai masalah tersebut, apakah boleh atau terlarang? Seperti masalah partisipasi dalam pemerintahan berkoalisi dengan non-muslim dan keikutsertaan wanita dalam pemilihan, baik sebagai pemilih maupun sebagai orang yang dicalonkan.
Sementara itu, sebagian yang lainnya merupakan gabungan antara perbedaan yang bersifat politis dan fiqih.
Termasuk ke dalam khilafiah fikriah: perbedaan pandangan mengenai penilaian terhadap sebagian ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu mantiq, ilmu filsafat, dan fiqih madzhab. Perbadaan lainnya adalah mengenai penilaian terhadap sebagian peristiwa sejarah dan tokoh-tokohnya.
Adapun perselisihan yang terbesar dan terluas ialah perselisihan dalam masalah cabang-cabang fiqih dan sebagian masalah-masalah aqidah yang tidak qath’i. Dalam masalah ini banyak contoh yang dapat disebutkan:
    Dalam masalah thaharah
Hukum cologne dan spirtus yang digunakan untuk bersuci, benda yang diproses dari bahan yang asalnya najis, air got apabilla telah dibersihkan, perlunya berwudhu karena memakan daging onta, menyentuh wanita atau karena menyentuh kemaluan, dan sebagainya.
    Dalam masalah shalat
Seperti melaksanakan kedua tangan atau bersedekap, bacaan basmallah dipelankan atau dikeraskan atau tidak dibaca sama sekali. Perbedaan dalam masalah adzan dan iqamat, hukum shalat berjama’ah, duduk istirahat dan turun untuk bersujud dengan kedua tangan sebelum lutut atau sebaliknya, apa saja yang membolehkan jama’ antara dua shalat, dan sebagainya.
    Dalam masalah perhiasan dan kecantikan
Apakah memelihara jenggot itu wajib atau sunnah? Apakah boleh atau tidak merapikannya atau mengguntingnya? Apa hukum memelihara kumis? Apakah boleh memanjangkan pakaian walaupun bukan untuk tujuan kesombongan? Apakah wajib bagi wanita memakai cadar ataukah cukup menutup selain dari wajah dan kedua telapak tangannya? Apakah wanita boleh menggunakan sebagian alat kecantikan ringan (seperti celak mata)? Bolehkah wanita menggunakan cologne untuk wewangian? Apa hukum foto, baik foto yang punya bayangan maupun tidak, khususnya fotografi dan televisi?
    Masih banyak lagi masalah-masalah ijtihadiyah lainnya yang dipersilisihkan oleh para ulama karena tidak adanya nash syar’i yang qath’iyyuts tsubut dan qath’iyyud dalalah.

3.    MACAM-MACAM KHILAFIYAH
Adapun macam khilaf adalah sebagai berikut.
a.    Ikhtilaf/khilafiyah tanawwu’. Yaitu suatu istilah mengenai beragam pendapat yang bermacam-macam namun semuanya tertuju kepada maksud yang sama, di mana salah satu pendapat tidak bisa dikatakan bertentangan dengan yang lainnya. Semisal perbedaan ahli tafsir dalam menafsirkan Ash-Shirath Al-Mustaqim dalam surat Al-Fatihah. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Qur`an, Islam, As-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Semua pendapat ini benar dan tidak bertentangan maksudnya.
Demikian pula orang yang membaca tasyahhud dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia memandang bolehnya membaca tasyahhud yang lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya. Perbedaan yang seperti ini tidak tercela. Namun bisa menjadi tercela manakala perbedaan seperti ini dijadikan sebab atau alat untuk menzalimi orang lain.
b.    Ikhtilaf/khilafiyah tadhad. Yaitu suatu ungkapan tentang pendapat-pendapat yang bertentangan di mana masing-masing pendapat orang yang berselisih itu berlawanan dengan yang lainnya, salah satunya bisa dihukumi sebagai pendapat yang salah. Misalnya dalam satu perkara, ada ulama yang mengatakan haram dan ulama yang lain mengatakan halal.
Dalam perselisihan semacam ini tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil pendapat tersebut menurut keinginan (hawa nafsu)nya, tanpa melihat akar masalah yang diperselisihkan dan pendapat yang dikuatkan oleh dalil.
c.    Ikhtilaf/khilafiyah afham. Yaitu perbedaan dalam memahami suatu nash. Hal ini boleh namun dengan beberapa syarat di antaranya: Ia harus berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak banyak menyelisihi apa yang Ahlus Sunnah di atasnya, kembali kepada yang haq ketika terbukti salah, dan hendaknya ia termasuk orang yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.
(Hujajul Aslaf, Abu Abdirrahman dan Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan, Muhammad Al-Imam).

F.    FATWA
1.    PENGERTIAN FATWA
Fatwa menurut bahasa berarti jawaban mengenai kejadian (peristiwa).sedangkan menurut syara’ ialah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas  identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun klektif. Fatwa adalah bahasa arab yang berarti jawaban pertanyaan atau hasil ijtihad atau ketetapan hukum.  Ketetapan atau keputusan hukum tentang sesuatu masalah atau peristiwa yang dinyatakan oleh seoag mujtahid, sebagai hasil ijtihadnya. Contohnya  bila A seorang mujtahid dihadapakan dengan persoalan nikah tanpa wali, kemudian si A memikirkannya dengan menggunakan dalil  syar”I atau dengan menggunakan cara mengistinbathkan hukum, kemudian mengambl kesimpulan bahwa tidak sah nika tanpa wali. Kesimpulan pendapat atau ketetappan hukum yang dikemukakan A ini disebut fatwa sedang si A yang berfatwa disebut mufti.
Tindakan memberi fatwa disebut futya, atau ifta,istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang memintaafatwa disebut mustafti, peminta fatwa bis perseorangan,lembaga, ataupun siapa saja yang membutuhkannya.

2.    KEDUDUKAN FATWA
Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam.Dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul memerlukan jawaban.Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari orang-orang yang kompeten di bidang tersebut.Dalam masalah agama, yang berkompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid.
Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan dan sebuh kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa sepertiaz-Zakhirat al-Burhaniyah, kumpulan  fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174). Inilah kitab kumpulan fatwa pertama.
Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa  bertajuk al-Mi'yar al-Magrib yang berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga memiliki sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.
Di Indonesia juga ada sejumlah  buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab Agama dan Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, selain itu ada juga Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama.
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam, fatwa ini juga menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara hukum, akan tetapi, ia bersifat mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang muslim untuk menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas dan benar.

Syarat-syarat seorang mufti:
a.    Mufti member fatwa dengan niat semata-mata mencari keridhaan Allah SWT.
b.    Hendaknya seorang mufti itu berwibawa, sabar, dan dapat menguasai dirinyi, tidak cepat marah, dan tidak suka menyombongkan diri .’abasa ayat 8-11
c.    Mufti itu hendaknya seorang yang berkecukupan hidupnya tidak menggantungkan hidupnya pada orang lain.
d.    Hendaklah seoran mfti mengetahui ilmu kemasyarakatan.
Menurut pandangan imam ahmad bahwa yang boleh mejadi mufti hanyalah orang yang memenuhi lima syarat , yaitu:
a.    Member fatwa, dengan niat mencari keidhaan Allah semata.
b.    Hendaklah a mempunya ilmu, ketenangan, kewibawaan dan dapat menahan kemarahan
c.    Seorang yang benar-benar menguasai ilmunya, buan seorang yang kurang ilmunya.
d.    Seseorang yang mempunyai kecukupan,
e.    Mengetahui ilmu kemasyarakatan

Kewajiban para mufti:
Dilihat dari sejarah kaum muslimin, seorang mufti diangkat oleh pemerintah pada suatu masa. Imam malik bin annas pernah diangkat menjadi mufti khalifah abbasiyah. Dan adakalanya hanya merupakan seorang ulama yang terkenal dan dipercaya oleh masyarakat seperti imam ahmad bin hambal,dan ibnu taimiyah.
Seorang mufti dalam memberikan fatwanya bisa secara langsung dan tidak langsung.Secara langsung mufti dalam menjawab persoalan yang dikemukakan kepadanya pada saat disampaikan penanya.Secara tidak langsung dengan memberikan jawaban secara tertulis dalam buku atau majallah.
Imam ahmad bin hanbal menulis bahwa  ada 3 macam kewajiban seorang mufti, yaitu:
a.    Menyampaikan fatwa benar-benar sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits. Ia harus berijtihad dengan sungguh-sungguh dan tidak ada paksaan atau ancaman yang memengaruhi hasil ijtihadtersebut.
b.    Hendaklah ia memohon petunjuk dan pertolongan Allah, agar dalam mengistinbathkan hukum Allah mengarah kearah yang benar, setelah itu baru membhas permasalahan yang sedang dihadahadapi, dengan meneliti nash al-qur,an dan hadits, fatw asahabat dan pendapat ulama terdahulu yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diselesaikannya.
c.    Hendaklah ia berdaya upaya menetapkan hukum sematamata guna mencari keridhaan allah dengan mengendalikan hawa nafsunya sehingga dalam memberikan fatwa bukan untuk kepentingan pribadi.

Perbedaan dan persamaan antara hakim dan mufti:
Persamaan antara vonis dengan fatwa adalah kedua keputusan itu diambil dengan mengetahui duduk kejadian serta didasarkan pada hukum syara’.
Ada beberapa persamaan atau perbedaan aantara hakim dan mufti. Diantara persamaannya ialah:
a.    Baik hakim maupun mufti adalah seorang mujtahid yang dapat mengistinbathkan hukum dari dalil yang tafsili.
b.    Hakim dan mufti harus mengetahui dan memahami dengan sungguh-sungguh persoalan atau peristiwa yang akan diselesaikan.
c.    Hakim dan mufti harus mengetahui keadaan masyarakat tempat ia berada.
Perbedannya ialah:
a.    Persoalan atau peristiwa yang perlu diselesaikan oleh seorang mufti lebih lus bidangnyadibandingkan tugas hakim. Bidang hakim terbatas pada telah yang ditentukan atau ditetapkan undag-undang atau peraturan pemerintah suatu negara, sedang bidang tugas mufti tidak terbatas, bahkan dapat berlaku untuk seluruh kaum muslimin yang menjadi penduduk suatu negara.
b.    Keputusan hakim berlaku penuh terhadap penggugat dan tergugat atau terdakwa dan pendakwa, sedang fatwa boleh dilaksanakan atau tidak tergantung orang yang memerlukan fatwa itu.
c.    Keputusan hakim dapat membatalkan fatwa yang dikemukakan daerah wewenang hakim itu, sedang fatwa tidak dapat membatalkan keputusan hakim.

3.    LEMBAGA-LEMBAGA FATWA DI INDONESIA
a.    Majelis Tarjih Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi social keagamaan yang memiliki misi utama pembaharuan atau tajdid terhadap pemahaman agama.Pembaharuan dalam muhammadiyah meliputi dua segi jika dilihat dari sasarannya yaitu pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada kemurniannya dengan sasaran soal-soal prinsip perjuangan yang bersifat tetap dan pembaharuan dalam arti modernisasi dengan sasaran mengenai masalah metode, system, tektik, setrategi, taktik perjuangan dan lain-lain.
Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-17/1928 di Yogyakarta dibentuk susunan pengurus Majelis Tarjih Pusat sebagai ketuanya KH.Mas Mansur dan sekertaris KH.Aslan Z, dibuat anggaran dasar yang menetapkan tugas dari majelis tarjih adalah mengamati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan hukum-hukum agama, menerima dan mentarjih hukum masalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, penyelidikan dan pembahasan yang berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Majelis Tarjih berfungsi untuk mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu.
Manhaj al-istinbath adalah majelis tarjih dan pengembangan pemikiran islam Muhammadiyah yang merumuskan secara dinamis aspek metodologis, yang dilakun terakhir pada tahun 2000 di Jakarta dengan prinsip yaitu mengbah istilah al- sunnah al-sohihah menjadi al-sunnah maqbullah sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, posisi ijtihad adalah metode bukan sumber hukum, ijtihad meliputi metode bayani, ta’lili, dan ishtilahi, manhaj menentukan empat pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum, dan lain-lain.
Dalam majlis tarjih, manhaj pengembangan pemikiran islam dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamayaitu: prinsip al-muro’ah (konservasi), prinsip al-tahdidsi (inovasi), dan prinsip al-ibtikari (kreasi). Dalam pengambilan keputusan MTPPI terhadap persoalan-persoalanyang memerlukan perpestik oleh majlis ini dinahas dengan cara berupaya mencari dalil yang relevan, menerapkan manhaj al istinbath lalu menarik natijah hukumnya, hasil keputusan kemudian diajukan kepemimpinan muhammadiyah sesuai tingkatannya yang mempunyai otoritas untuk mentanfidzkan atau tidak sesuai pertimbangan yang dimiliki, namun semua yang telah ditanfidzkan masih tetap untuk diadkan tinjauan ulang.
b.    Lajnah Bahsul Masail NU
NU sebagai jam’iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah serta menjadikan paham sunah wal jama’ah sebagai basis teologi dan menganut salah satu dari mazhab.Metode istinbath hukum lajnah bahsul masail dikalangan NU tidak diartikan dengan mengambil hukum secara langsung (al-qur’an dan sunah), namun diartikan sesuai dengan sikap dasar bermazhab terutama mazhab Syafi’I menempati posisi yang dominan. Metode pengambilan keputusan hukum dirumuskan pada munas Bandar lampung pada tahun 1992 dengan susunan metodologisnya yaitu: kasus yang jawabannya ditemukan satu qoul (pendapat), maka qou itu yang diambil, kasus yang hukumnya ada dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya, namun jika tidak ditemukan pendapat sama sekali dipakai ilhaq al-masail bin nadhariha secara jam’i oleh ahlinya, dan jika masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhaq maka dilakukan istinbath jam’i.
c.    Majelis Fatwa Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT.
2. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah).
4. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Mahfudz. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya.Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri.Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan.Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.Terdapat lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti).
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah).
4. Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar.
5. Gerakan Ishlah wa Al-tajdid.

G.    QANUN DAN TAQNIN SYARIAH
1.    SEJARAH AWAL PENYUSUNAN QANUN DI DUNIA ISLAM
Ide penyusunan kanun menurut Abu Zahrah bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia islam.pembukuan al-Qur’an dan penyeragaman qiraatnya di zaman khalifah utsman bin affan merupakan salah satu contoh konkretnya. Menurut Qodri Azizy contoh yang lebih awal dapat dirujuk Piagam Madinah yang dibuat Nabi Muhammad Saw. Bila dicermati Piagam Madinah sudah mengunakan bahasa undang-undang dasar sebagaimana dikenal di zaman modern ini.
Selanjutnya pada masa dinasti Abbasiyyahpada masa khalifah  Abu Ja’far al-Manshur, ibn al-Muqaffa’ kembali mencetuskan ide taqnin ketika ia menyaksikan adanya kesenjangan hukum dan pertentangan keputusan pengadilan pada masa hidupnya.

2.    DEFINISI DAN TUJUAN QANUN
Secara etimologis berasal dari bahasa yunani yang masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa suryani, yang berarti alat pengukur kemudian berarti kaidah. Dalam bahasa inggris, qanun disebut canon, yang artinya lain, sinonim artinya dengan peraturan regulation, rule atau, ordinance), hukum (law), norma (norm), undang-undang (statute atau code) dan peraturan dasar (basic rule). Qonun ialah setiap perkara yang bersifat kulli (menyeluruh) yang relevan dengan seluruh juz’iyah (bagian-bagian)nya hukum-hukum juziyah itu dikenal.
Ulama salaf memberikan definisi qanun adalah kaidah-kaidah yang bersifat menyeluruh ddidalamnya tercakup hukum-hukum bagian. Qanun dasarnya adalah rakyu (produk manusia) karena qonun produk manusia bisa disebut hukum Wadhi. Qonun produk manusia yang pertama kali dkenal ialah “qanun Hamuraby” dinegara babilon, kumpulan qanun klasik yang paling terkenal adalah undang-undang romawi.undang-undang romawi pengruhnya sangat besar karena banyak mempengaruhi undang-undang barat termasuk juga undang-undang didunia islam.
Qanun (undang-undang) berarti kumpulan undang undang yang dikemas untuk bidang-bidang tertentu, seperti undang-undang pidana. Qanun ialah kumpulan hukum produk manusia yang digunakan untuk menyelesaikan dan memutuskan perkara manusia yang berselisih.
Dalam konteks indonesia stilah qanun tidak hanya untuk hukum yang berkaitan dengan masyarakat, juga untuk masalah ibadah seperti zakat dan haji. Dalam penggunaannya menurut Subhi Mahmassani qanun digunakan dalam tiga makna.
a.    Kumpulan peraturan-peraturan hukum atau undang-undang
b.    Sinonim bagi kata hukum
c.    Sinonim bagi kata undaang-undang
Kanun dalam pengertian ini biasanya hanya mengenai hukum yang berkaitan dengan muamalah  bukan ibadah.
Dalam perkembangannya qanun dapatlah dikatakan identik dengan undang-undang di negara Islam,berupa:
a.    Mengatur hal-hal yang berkaitan antarsesama mausia (terutama sekali wilayah muamalat atau hal-hal  keduniaan).
b.    Berisi hukum islam yang sudah jelas ketentuan pokoknya dari nas dan dalam waktu bersamaan kebijakan publik atas dasar  “urf, istihsan.
c.    Qanun yang secara elektis memilah dan memilih materi yang berasal dari banyak perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum islam untuk kemudian disusun dan ditetapkan sebagai peraturan yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat.
d.    Dalam beberapa hal terkadang melewati ketentuan hukum islam yang berlaku dengan alasan untuk kepentingan umum dengan dalih politik hukum islam.
e.    Berupa undang-undang resmi produk lembaga legislatif atau lembaga eksekutif yang mempunyai fungsi legislatif.
 Dapat disederhanakan bahwa qanun adalah undang-undang yang berisi hukum islam, baik seluruhnya maupun sabagiannya, dan tetap menggunakan prosedur menemukan hukum islam seperti dengan mengunkan alasan istihsan, ‘urf, mashlahah dan siyasah syar’iyah.
Proses penyusunan qanun disebut taqnin. Secara terminologi dalam pengertian umum taqnin adalah penetapan sekumpulan peraturan atau undang-undang oleh penguasa yang memiliki daya paksa untuk mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu masyarakat. Sedng dalam pengertian khusus taqnin berarti penetapan sekumpulan peraturan atau undang-undang oleh penguasa yang memiliki daya paksa untuk mengatur suatu masalah tertentu, sepertimasalah perdata, pidana, dsb.
Tujuan diadakannya taqnin atau legslasi hukum islam oleh penguasa negara adalah untuk mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu masyarakat. Dengan demikian diharapkan kehidupan masyarakat akan menjadi baik, aman, tertib, dan penuh keharmonisan.

3.    BIDANG-BIDANG PENGTAQNINAN
a.    Al-ahwal al-Syakhsiyah ( hukum keluarga)
Pen-taqnin-an di bidang al-ahwal al-Syakhsiyah ini merupakan contoh di mana pengaruh hukum Barat terhadap materi hukum Islam relatif kecil bahkan tidak ada, dan merupakan benteng terakhir dalam mempertahankan diri terhadap pengaruh hukum Barat yang diterapkan pemerintah kolonial di dunia Islam yang merupakan daerah jajahannya. Di sisi lain bidang al-sahwal al-Syakhsiyah diperkenalkan melalui dakwahnya dan memberikan contoh pelaksanaannya dalam kehidupan keluarga. Sosialisasi hukum semacam ini, meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan menjadikan hukum Islam bidang hukum al-ahwal al-Sykhsiyah menjadi hukum adatnya.
Kenyataan di lapangan, hukum islam yang diterapkan di lingkungan peradilan agama yang menuju pada kitab fiqih banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama, untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan di lingkungan peradilan agama yang dapat ijadikan pedoman para hakim dalam melaksanakan tugasnya. Penggagas kompilasi hukum Islam ini adalah Prof. H. Bustanul Arifin SH.
Hasil dari proses kerja ini terwujud kompilasi hukum Islam.
Buku I tentang hukum perkawinan
Buku II tentang hukum kewarisan
Buku III tentang hukum perwakafan
Sampai sekarang, para ulama dan lembaga-lembaga keagamaan masih meningkatkan kekuatan peraturan tersebut dari instruksi Presiden menjadi undang-undang.
Pen-taqnin-an bidang perwakafan sudah merata di seluruh dunia Islam, misalnya: di Mesir, dimulai dengan keluarnya undang-undang Wakaf No. 48 Tahun 1946 yang kemudian disusul dengan undang-undang No. 180 Tahun 1952, yang menghapus Wakaf.
Dari pen-taqnin-an di bidang al-ahwal al-Syakhsiyah (hukum keluarga),perwakafan dan zakat tampak jelas sekali , hukum Islam sedang dicoba diterapkan diberbagai belahan dunia Islam dengan menempuh jalan al-tadrij atau al-tadaruj(bertahap dalam penerapan),sesuai dengan kaidah fiqih: Ma la judraku kuluhu la yutraku kuluhu (apa yang tidak bisa dicapai seluruhnya, janganlah ditinggalkan seluruhnya).
b.    Pentaqninan Di Bidang Mu’amalah
Pen-taqnin-an di bidang mu’amalah dimulai sejak dikeluarkannya Majalah Al-Ahkam al-Adliyah. Untuk menjamin kepastian hukum, kekhalifahan Turki Usmanimembentuk suatu panitia yang terdiri dari ulama besar dan fuqoha yang dietahui oleh Ahmad Judat Basya.dari jerih payah para ulama dan pejabat negara pada zaman kekhalifahan Turki Usmani ini, terwujudlah suatu karya besar yatu kodifikasi Hukum Perdata Islam yang bersumber pada AL-qur’an dan Hadits serta kitab fiqih standar mazhab Hanafi.
Dengan munculnya Majalah Al-Ahkam ada perkembangan baru dari Hukum Islam pertama: berpindahnya kewenangan penetapan hukum dari ijtihad fardi ke ijtihad jama’i (dari ijtihad perorangan kepada ijtihad kolektif) kedua: ada kepastian hukum yang menjadi pegangan para hakim dan masyarakat. Ketiga: terkodifikasinya hukum Islam dalam satu kitab undang-undang tidak tersebar di dalam berbagai kitab fiqih yang tidak mudah untuk dipelajari.
Satu hal baru lagi di bidang fiqih muamalah adalah munculnya lembaga ekonomi baru didunia Islam,diantaranya karena perannya di bidang keuangan adalah Perbankan Syariah, Asuransi Tafakul, Pasar Modal Syariah, Bank Perkreditan syariah, Obligasi Syariah, Koperasi Syariah, Reksadana Syariah.
d.    Pentaqninan di Bidang Siyasah
Pen-taqnin-an di bidang siyasah ini hanya di bidang siyasah dusturiyah yaitu berhubungan dengan Undang-Undang Dasar suatu Negara.
    Setelah Dunia Islam bebas dari penjajahan dan membentuk negara nasionalnya, negara dihadapkan pilihan yang sulit. Mengadopsi keseluruhan hukum penjajah tidaklah islami, dan mau mengmbil keseluruhan aturan fiqih sering tidak realistis, dari ijtihad masing-masing negara, memunculkan 3 type besar yatu:
•    Mengambil kesseluruhan hukum Barat, seperti turki,
•    Mengambil sumber dari hukum Islam secara ketat seperti Saudi Arabia dan Iran.
•    Mencari kompromi di antara keduanya, seperti mesir, indonesia, malaysia.
Ada beberapa kesulitan dalam membuat konstitusi yang tertulis.
•    Aspek peristilahan
•    Di dalam kitab-kitab fiqih yang lam jarang ditemukan bahan khusus dalam satu bab atau pasal tertentu tentang konstitusi
•    Aspek pendidikan
Kesulitan lain yaitu: pertama : pen-taqnin-an suatu hukum dan menetapkannya berlaku untuk ditaati dianggap bertentangan dengan kebebasan berpikir dan berijtihad. Kedua: bidang hukum publik berlaku untuk semua negara yang mayoritas memiliki agama, dan juga masalah aqidah.
Pada masa sekarang negara di dunia Islam telah memiliki undang-Undang Dasar sendiri mengambil bentuk negara kesatuan. Dengan sistem Republik, kecuali Saudi Arabia, Yordania, dan Brunei Darussalam.
e.    Pentaqninan di Bidang Qadla’
Pada masa sekarang negara di dunia Islam memiliki lembaga-lembaga peradilannya meskipun didalam pembentukan lembaga memiliki pengalamannya sendiri-sendiri yang tidak mudah.
Contoh kasus di indonesia, telah keluar undang-Undang No.14 tahuk kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 ayat 1 dinyatakan:”bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara”. Pada prinsipnya empat lembaga tersebut, terdapat di negara dunia Islam.
Tingkatan peradilan pada umumnya sama, yaitu tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat terakhir kasasi. Pengadilan Agama merupkan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan tingkat banding, dan terakhir Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi.

4.    KELEBIHAN DAN KELEMAHAN QANUN
Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya taqnin al-ahkam.
a.    Seorang hakim tidak perlu bersusah payah lagi untuk mencari ketentuan hukum persoalan yang diajukan kepadanya dalam berbagai hukum fikih yang ada.
b.    Menutup kemungkinan masalah yang sama dengan latar belakang yang sama pula diputuskan dengan hukum yang berbeda-beda, seba setiap hakim wajib merujuk pada qanun yang sama dan dinyatakan berlaku secara rasional oleh penguasa. Artinya, mau tidak mau hukum yang digunakan itu akan dipatuhi masyarakat, sebab bila mereka tidak mematuhinya, niscaya dapat dikenkan sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Selain kelebihan juga mempunyai kelemahan
a.    Hukum berada pada posisi yag tergantung pada penguasa. Artinya hukum islam baru dapat berlaku dalam suatu masyarakat bila sudah diundangkan oleh penguasa, dan tanpa itu praktis hukum islam tidak dapat diterapkan dalam masyarakat.
b.    Akan terjadi reduksi pemahaman dan persepsi umat islam mengenaai sesuatu yang disebut sebagai hukum. Sesuatu dianggap sebagai hukum bila sudah diundangkan. Hanya hukum islam yang termaktub dalam qanun saja yang dianggap sebagai hukum.
5.    QANUN DI DUNIA ISLAM
Secara garis besar negara-negara di dunia islam dapat dibedakan dalam tiga kategori. Pertama, negara yang mejadikan islam sebagai ideologi negara yang disebut negara islam. Ciri utama adalah kata “islam’ dinyatakan sebagai dasar dan agama negara, di dalamnya dijalankan syariat islam secara formal sebagai hukum positif. Contohnya Arab Saudi.
Kedua, negara yang penduduknya sebagian besar umat Islam dan hukum islam menjadi bagian dari sumber hukum negara, disebut negara Muslim. Ciri utama adalah didalamnya terdapat formalisasi hukum Islam dalam bidang tertentu, misalnya hukum perdata.untuk bidang-bidang lainnya, syariat Islam dijadikan sebagai sumber etika moral atau input bagi pembangunan hukum nasional dan kebijakan publik. Contoh indonesia.
Ketiga, negara yang hanya menjadikan Islam sebagai etika moral yang lazim disebut negara sekuler. Ciri utamanya adalah dapat menerima etika moral agama, tetapi tidak mendukung formalisasi hukum agama dalam kenteks kehidupan bernegara. Contoh turki.
Dalam pembahasan qanun di dunia Islam dari kelompok negara kerajaan contohnya adalah Arab Saudi, Maroko, Yordania. Dari kelompok Republik contohnya adalah Turki, Mesir, dan Pakistan. Keenam negara tersebut diberlakukan qanun didalamnya terutama dalam entuk qanun asasi atau konstitusi. Berbeda dengan Maroko, Yordania, Mesir, dan Pakistan , Arab Saudi menjadikan al-Qur’an sebagai Undang-Undang Dasar negaranya. Maroko menegaskan bahwa Islam merupakan agama negara begitupun dengan yordania. Indonesia berbeda dengan Maroko dan Yordania kanun asasi atau konstitusi Indonesia tidak disebutkan Islam sebagai agama negara, tidak berarti indonesia adalah negara sekuler.

6.    RELEVANSI IDE PENYUSUNAN QANUN DALAM KONTEKS INDONESIA
Indonesia termasuk salah satu negara yang menganut paham Taqnin (legislasi), istilah lain, negara hukum indonesia adalah negara yang menganut “positivisme yuridis”.artinya segala bentuk hukum baru dapat di berlakukan secara efektif di negara Republik Indonesia ini setelah diundangkan secara resmi oleh penguasa.ide taqnin di dunia Islam yang dipelopori oleh Ibn al-Muqaffa’ pada  tahun 137 H/755M sejalan dan memperkuat ide legislasi. Hukum Islam di samping berlaku dengan sendirinya diperkuat dengan undang-undang.
Kendati menyimpan banyak kekuranganPembumian hukum Islam. Maka ide taqnin ibn al-muqaffa’ sangat relevan dengan pembentukan peraturan perundangan yang ditetapkan di indonesia. Dengan jalan itu hukum Islam dapat diberlakukan di negara Indonesia. Dalam konteks Indonesia ide tqnin telah diterima dan dipraktikan dalam kehidupan nyata bernegara. Buktinya kita telah memiliki Undang-Undang Perkawinan  ( UU No. 1 tahun 1974), Undang-Undang Haji ( UU No. 17 Tahun 1999), Undang-Undang Zakat ( UU No. 38 1999), Undang-Undang Wakaf (UU No. 41 tahun 2004) dan Undang-Undang Perbankan Syari’ah (UU No. 21tahun 2008).
Dalam era reformasi ini  terbuka sangat lebar eksistensi hukum Islam sebagai salah satu dari tiga sumber hukum nasional. Dimasa reformasi ini hukum Islam harus mampu ikut bicaraguna mengganti Hukum warisan kolonial Belanda. Hukum nasional kita benar-benar mencerminkan ciri an nilai masyarakat Indonesia yang religius, mandiri, merdeka, dan lepas dari pengaruh nilai dan formalisasi masa pemerintahan Belanda.
 
Template designed by Liza Burhan